Rabu, 02 September 2015

Apakah Sola Scriptura/ “Kitab Suci saja” cukup?


Pendahuluan
Dalam diskusi antara umat Katolik dan non- Katolik perihal Kitab Suci, sering timbul perkataan demikian, “Mari setuju dulu bahwa Kitab Suci adalah pegangan satu-satunya dalam iman kita”. Seharusnya, jika kita mendengar pernyataan sedemikian, kita harus menjawab, “Tidak”. Sebab Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Pandangan yang mengutamakan “hanya Kitab Suci saja” (Sola Scriptura) atau Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman, adalah pandangan yang menolak Tradisi Suci dan otoritas Gereja, dan hal ini tidak sesuai dengan pengajaran Kristus dan para rasul.

Apa itu Sola Scriptura?
Sola Scriptura adalah doktrin Protestan yang mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “sumber otoritas yang terutama dan absolut, keputusan akhir dalam menentukan, untuk semua doktrin dan praktek (iman dan moral)” dan bahwa “Kitab suci, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak ada lagi yang lain- yang diperlukan untuk iman dan moral.”

Apakah yang ajaran Gereja Katolik dalam hal ini?
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Wahyu Ilahi tidak saja disampaikan kepada kita dengan cara tertulis sebagai pembicaraan Allah (speech of God) dalam Kitab Suci, tetapi juga dalam bentuk Sabda Allah yang disampaikan secara lisan dari Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul. Pengajaran yang bersumber dari ajaran lisan ini disebut sebagai Tradisi Suci, kemudian juga dituliskan dan diturunkan kepada para penerus Rasul. Maka karena sumbernya sama, maka keduanya berhubungan erat sekali, terpadu, tidak mungkin bertentangan, karena mengalir dari sumber yang sama dan mengarah ke tujuan yang sama yaitu Tuhan sendiri.

Selanjutnya dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik demikian:
KGK 82 Dengan demikian maka Gereja yang dipercayakan untuk meneruskan dan menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya [baik Tradisi maupun Kitab Suci] harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.” (Konsili Vatikan II, Dei Verbum 9).

Dengan demikian, kita ketahui Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa Kitab Suci “lebih tinggi/ lebih penting” dari Tradisi Suci, melainkan menekankan kesatuan antara keduanya, yaitu Kitab Suci dan Tradisi Suci pada tingkat yang sama, karena keduanya berasal dari Tuhan dan mengarahkan umat beriman kembali kepada Tuhan. Gereja Katolik tidak “merendahkan” Kitab Suci dalam hal ini, melainkan hanya menyampaikan bahwa Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman iman karena memang Tuhan menyampaikan Sabda-Nya tidak hanya melalui Kitab Suci.

Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci
Jika “Sola Scriptura” adalah doktrin yang benar, tentunya Kitab Suci harus secara eksplisit mengatakannya, namun tidak demikian yang kita baca dari Kitab Suci:

1. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya pengajaran lisan para rasul.
Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, dan berabad- abad sebelum kanon Perjanjian Baru ditetapkan. Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes 2:15; lihat juga 1 Kor 11:2)

2. Kitab Suci mengatakan bahwa tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.
“Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.” (Yoh 21:25) Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai otoritas untuk menginterpretasikannya (lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16). Rasul Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Alkitab yang memang sulit untuk dicerna, dan ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Alkitab untuk menyanggah kebenaran iman Kristen, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah sungguh- sungguh Tuhan.

4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai dari para rasul-Nya untuk mengajar dalam nama-Nya (lih. Mat 16:13- 20; 18:18; Luk 10:16). Gereja akan bertahan sampai pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat 16:18; 28:19-20; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ wewenangan mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam jemaat, contohnya dalam hal sunat. Pada saat terjadinya krisis itu sekitar tahun 40-an, kitab PB belum terbentuk, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat ini. Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15). Konsili inilah yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci PL yang mengharuskan sunat (lih. Kej 17, Kel12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam PB, sehingga ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15) Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya menulis Kitab Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh Kristus untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/ Firman Tuhan. Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1 Tes 2:13 Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah (“when you received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan ini adalah Tradisi Suci.

Sola Scriptura tidak sesuai dengan sejarah Gereja
Selanjutnya, jangan lupa bahwa Tradisi Suci sudah ada lebih dahulu dari Kitab Suci, dan yang melahirkan Kitab Suci adalah Tradisi Suci melalui Magisterium Gereja Katolik. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci, yaitu pengajaran iman Kristiani yang berasal dari pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Silakan anda membaca bagaimana terbentuknya Kitab Suci yang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damasus I pada tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthage (397) dan Chalcedon (451). Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15. Jadi mengatakan bahwa Kitab Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar, sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.

Sola Scriptura membawa perpecahan Gereja
Sering kita melihat bahwa perpecahan gereja diakibatkan karena keinginan untuk menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci secara pribadi. Sebagai contoh Martin Luther, John Calvin dan Ulrich Zwingli mempunyai banyak perbedaan pandangan dalam hal Ekaristi Kudus dalam menginterpretasikan perikop Yoh 6, hal Pengakuan Dosa, dll.

Pendapat manakah yang benar dari para pendiri ini, yang masing-masing mendasarkan ajarannya hanya berdasarkan Alkitab? Belum lagi dalam hal- hal lain seperti apakah Pembaptisan itu perlu atau hanya simbol saja, hal Pembaptisan bayi, Pembaptisan dalam nama Allah Trinitas atau dalam nama Yesus saja, dan seterusnya. Tiap-tiap kelompok yang bertentangan mengklaim bahwa Alkitab saja cukup jelas untuk menentukannya, namun terjadi bermacam- macam interpretasi. Maka secara fakta harus diakui bahwa Alkitab saja tidak cukup jelas mengajarkannya, dan diperlukan peran otoritas Magisterium untuk menginterpretasikannya.

Hal ini mirip dengan yang terjadi di setiap negara, yang mempunyai konstitusi, namun juga mempunyai kekuasaan yudikatif untuk menginterpretasikannya dengan benar. Jika setiap warga dapat mengartikan sendiri konstitusi ini, tanpa adanya kuasa otoritas yang menjaga dan melestarikannya, maka dapat terjadi kekacauan. Tuhan pastilah lebih bijaksana daripada para bapa pendiri negara dalam hal ini. Ia tidak mungkin hanya meninggalkan dokumen tertulis sebagai pedoman tanpa otoritas untuk menjaga dan menginterpretasikannya dengan benar.

Kalau memang “hanya Alkitab” saja cukup, dan dapat membawa persatuan Gereja, bersama-sama kita perlu merenungkan, kenapa setelah revolusi Gereja oleh Martin Luther di abad pertengahan, gereja menjadi terpecah belah sehingga sampai saat ini ada sekitar 28,000 denominasi? Seharusnya kalau memang kembali kepada kemurnian jemaat awal, katanya hanya berdasarkan Alkitab, maka Gereja seharusnya bersatu dan bukannya tercerai berai. Hal ini sungguh bertentangan dengan pesan Yesus terakhir yang menginginkan seluruh dunia melihat ada kesatuan di dalam tubuh Kristus, sehingga dunia dapat tahu bahwa kita semua adalah pengikut Kristus (lih Yoh 17). Dan inilah yang menjadi kerinduan Gereja Katolik untuk menyatukan seluruh umat Allah, sebagaimana tertuang dalam salah satu dokumen Konsili Vatikan II, yaitu Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio).

Tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja
Jika kita telah mengetahui bahwa Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Alkitab itu sendiri, maka kita dapat melihat pula bahwa sebenarnya Kristus telah menentukan tiga pilar kebenaran yang tidak terpisahkan yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium.

Sekarang mari kita melihat kepada ayat-ayat yang sering digunakan sebagai dasar Sola Scriptura:

1. 2 Tim 3:16-17 “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Ada banyak orang menginterpretasikan bahwa karena ayat ini, maka mereka hanya membutuhkan Kitab suci untuk menjadi umat Kristen yang baik. Padahal pada saat surat kepada Timotius ini ditulis, kanon Kitab Suci belum ada. Jadi di kalangan jemaat masih beredar berbagai tulisan, dan jemaat tidak dapat tahu dengan pasti, mana tulisan yang “diilhami oleh Allah”, dan mana yang tidak.

Lihatlah juga bahwa “sesuatu yang bermanfaat” itu bukan berarti hanya satu-satunya yang kita perlukan, atau segalanya yang kita butuhkan. Sesuatu dapat bermanfaat, tetapi tidak menjadi satu-satunya yang kita butuhkan. Misalnya, cahaya matahari diperlukan untuk tanaman agar tumbuh, tetapi tanaman juga memerlukan air dan tanah agar dapat bertumbuh dengan baik.

Juga perkataan “diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” juga tidak dapat dijadikan dasar bahwa Kitab Suci secara total mencukupi semuanya. Rasul Paulus pada 2 Tim 2:19-21 juga menggunakan frasa yang sama, pada waktu mengatakan, “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.” (pan ergon agathon- dalam bahasa Yunani). Jika logika yang sama dipakai untuk mengartikan ayat ini, maka pandangan tersebut mengatakan bahwa perbuatan menyucikan diri adalah “cukup”, tanpa kasih karunia, iman dan pertobatan, dan ini adalah kesimpulan yang keliru.

2. Ul 4:2 “Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu menguranginya….”
Ada orang yang berpendapat, dengan adanya ayat ini maka Kitab Suci sudah cukup, dan segala “tambahan” di luar Kitab Suci berarti tidak diilhami Tuhan. Namun jika logika ini yang dipakai, maka semua kitab dalam Kitab Suci selain kitab Ulangan dianggap sebagai “tambahan” Wahyu Allah yang hanya sampai pada kitab Ulangan. Dan tentu ini tidak benar, karena Inkarnasi Kristus, yaitu panggenapan Wahyu Allah tersebut, malah ada berabad- abad setelah kitab Ulangan ditulis.

3. Mat 4:1-11 Tiga kali Yesus menanggapi pencobaan Iblis dengan Kitab Suci, “Ada tertulis….”
Ada yang berpendapat, bahwa dari ayat ini Kristus mengacu hanya kepada Kitab Suci, dan tidak kepada Tradisi Suci atau Gereja. Namun sebenarnya Yesus mengatakan, “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (ay.4) Namun Kitab Suci juga mengatakan bahwa tidak semua perkataan Tuhan tercantum dalam Kitab Suci, sebab banyak di antaranya juga sampai kepada kita lewat pengajaran lisan (lih. Yoh 21:25; Kis 20:27; 2 Tes 2:14-15, 3:6; 2 Tim 2:2). Dan jangan kita lupa, bahwa Kristus sendiri adalah Sabda Allah (Yoh 1:1, 14) yang tidak dapat dibatasi oleh tulisan dan lembaran-lembaran Kitab Suci.

Maka di sini Yesus tidak sedang mengajarkan Sola Scriptura, tetapi sedang mengajarkan kita untuk berpegang pada semua pengajaran yang dikatakan-Nya, tidak hanya yang tertulis di Kitab Suci. Lagipula jangan lupa, Iblispun mengutip Kitab Suci untuk maksud yang tentu saja keliru dan jahat. Jadi kita harus memahami Kitab Suci dan menginterpretasikannya dengan benar. Ingatlah pesan Rasul Petrus pada saat mengomentari surat Rasul Paulus, “Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.” (2 Pet 3:16)

4. Mat 15:3 “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (lih. Mrk 7:7-9, Kol 2:8)
Di sini kita melihat tradisi/ paradosis yang dikecam oleh Yesus dan Rasul Paulus adalah tradisi manusia yang bertentangan dengan hukum-hukum dan perintah-perintah Tuhan.

Mereka tidak sedang mengecam semua tradisi/ paradosis, sebab Rasul Paulus mengatakan juga demikian, “Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran [tradisi/ paradosis] yang kuteruskan kepadamu.” (1 Kor 11:2) “Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran [tradisi/ paradosis] yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis. (2 Tes 2:15).

5. Why 22: 18-19: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.”

Ada pula yang mengartikan ayat ini dengan mengatakan bahwa Gereja Katolik menambahkan Tradisi Suci kepada Kitab Suci, sehingga ini tidak benar. Namun pada ayat ini yang dimaksud dengan “kitab ini” adalah kitab Wahyu itu sendiri, dan bukan Kitab Suci secara keseluruhan. “Kitab ini” juga mengacu kepada “scroll“/ gulungan naskah di mana kitab dituliskan. Maka perintah ini mengacu kepada larangan agar jangan mengadakan perubahan pada salinan teks kitab Wahyu ini, dan ini juga berlaku pada kitab-kitab lainnya.

Kesimpulan
“Sola Scriptura” atau Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman, bukanlah merupakan pengajaran yang bersumber dari Kitab Suci. Kitab Suci adalah sebagian dari Tradisi Suci Gereja, sehingga Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi Suci secara keseluruhan, yang dijaga dan dilestarikan oleh otoritas Magisterium Gereja Katolik.

Kristus mendirikan Gereja untuk mengajar, menyucikan dan memimpin umat manusia dalam nama-Nya, sampai kepada akhir jaman. Maka jika kita menolak otoritas dari Tuhan ini, yang diberikan kepada para rasul dan para penerusnya, maka sesungguhnya kita menolak Kristus (lih. Luk 10:16). Gereja Katolik menerima Kitab Suci sebagai salah satu pedoman iman (lihatlah kepada Katekismus dan hasil- hasil Konsili yang mengutip banyak sekali ayat Kitab Suci sebagai landasan ajarannya), dan karenanya, menerima otoritas Kitab Suci sebab Kitab Suci merupakan Sabda Allah. Namun umat Katolik tidak dapat menerima Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman (Sola Scriptura), terutama karena Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian.

Selain itu, Sola Scriptura juga bertentangan dengan sejarah, karena pada faktanya Gereja-lah yang menentukan kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Kitab Suci, dan kitab-kitab mana yang tidak. Akhirnya, Sola Scriptura juga bertentangan dengan akal sehat dan membawa perpecahan, karena bahkan di kehidupan sehari-haripun, kita mengetahui bahwa setiap peraturan tertulis (contohnya konstitusi negara) memerlukan otoritas yang menjaga, menjamin dan menginterpretasikannya dengan benar. Jika tidak, tentu terjadi kekacauan, karena tiap pribadi dapat mempunyai pandangan yang berbeda. Dan ini sungguh telah terbukti dengan adanya sekitar 28.000 jumlah denominasi gereja Protestan. Jika kita memakai prinsip yang diajarkan Kristus untuk menilai apakah pohon itu baik atau tidak dari buahnya (Mat 12:33, Luk 6:44), maka kita akan mengetahui apakah ajaran Sola Scriptura itu baik atau tidak.

Semoga Roh Kudus sendiri menerangi kita untuk mengetahui kebenaran ini, bahwa memang Kitab Suci adalah sangat perlu dan sangat penting untuk menuntun dan menumbuhkan iman kita, namun Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman iman kita.

Sebab Tuhan Yesus telah memberikan kepada kita Magisterium Gereja yang menyampaikan juga ajaran lisan dari-Nya dan para rasul -yaitu Tradisi Suci, dan Magisterium ini dengan setia menginterpretasikan semua ajaran itu dalam terang Roh Kudus sesuai dengan ajaran Kristus dan para rasul.

Sumber: katolisitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar