Paus Yohanes Paulus II dan Paus Yohanes XXIII
Umat Gereja Universal dengan penuh gegap gempita, berkumpul di lapangan Santo Petrus, Vatikan tanggal 27 April 2014 yang bertepatan dengan hari Minggu Kerahiman Ilahi. Paus Fransiskus akan menyematkan gelar santo kepada dua pendahulunya yaitu, Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II.
Paus Yohanes XXIII yang bernama asli Angelo Giuseppe Roncalli ini lahir di Sotto I’ll Monte, kota kecil di Provinsi Bergamo, Italia, 25 November 1881. Ia merupakan anak keempat dari 13 saudara, yang juga anak laki-laki pertama dari pasangan Giovanni Battista Roncalli dan Marianna Giulia Mazzolla. Sejak masa kecilnya, hatinya sudah jatuh cinta pada panggilan imamat sehingga dengan menjalani studinya untuk mengabdikan diri sebagai imam, ia lalu ditahbiskan sebagai Imam Keuskupan Bergamo pada 10 Agustus 1904. Ia berkarya sebagai Pastor Paroki Santa Maria di Monte Santo, Italia.
Pada tahun 1925, Paus Pius XI mengangkatnya menjadi Uskup Agung TitulerAreopolis. Ia memilih motto obedientia et pax, ketaatan dan kedamaian. Berselang enam tahun, Roncalli resmi menjadi Delegatus Apostolik Bulgaria. Pada 1934, Roncalli diutus menjadi Delegatus Apostolik untuk Negara Turki dan Yunani dan pada saat yang sama pula, gelar episkopalnya diubah menjadi Uskup Agung Tituler Mesembria. Setelah Paus Pius XII wafat, Roncalli mengikuti konklaf. Pada saat konklaf berlangsung, Roncalli bukanlah kandidat yang dianggap kuat untuk menduduki Takhta Petrus. Namun realita berkata lain, Roncalli terpilih sebaga paus pada 28 Oktober 1958, saat berusia 77 tahun dan memilih nama Yohanes XXIII. Selama masa pontifikalnya, Paus Yohanes XXIII membentuk Komisi untuk Revisi Kitab Hukum Kanonik dan begitu dekat dengan umat. Sebagai Uskup Agung Roma, ia kerap melakukan kunjungan pastoral ke paroki-paroki yang ada di wilayah Keuskupan Agung Italia.
Jejak Paus Yohanes XXIII di Nusantara
Vatikan menyambut Presiden RI pertama Soekarno pada Kamis pagi, 14 Mei 1959. Ia bersua dan berbincang dengan Paus Yohanes XXIII di ruang Clement VIII Pax V. Sebelumnya, Soekarno juga pernah berkunjung ke Vatikan menemui Paus Pius XII, pada 13 Juni 1956. Hubungan Paus Yohanes XXIII dengan Indonesia tak sampai di situ. Melalui Dekrit Quod Christus Adorandus, 3 Januari 1961, Paus Yohanes XXIII meresmikan pendirian Hirarki Episkopal Gereja Katolik di Indonesia. Peresmian Hirarki Episkopal ini merupakan pengakuan Takhta Suci terhadap Gereja Katolik Indonesia, karena telah mampu berdikari.
Sejak saat itu, 20 vikariat apostolik dan tujuh prefektur apostolik ditingkat menjadi keuskupan yang mempunyai wewenang penuh mengatur penggembalaan di wilayahnya, ke dalam enam provinsi gerejani; Keuskupan Agung Medan, Jakarta, Semarang, Pontianak, Makassar, dan Ende. Pada kemudian hari, dimekarkan menjadi Keuskupan Agung Merauke (1966), Kupang (1989), Palembang (2003), dan Samarinda (2004). Nama asli dari Paus Yohanes XXIII, Angelo Giuseppe Roncalli juga diabadikan sebagai nama rumah retret di Salatiga, Jawa Tengah. Rumah Retret Roncalli ini berdiri pada 1968. Rumah retret ini dirintis Br Carlo Hillenaar FIC dan Br Joachim van der Linden FIC. Selain itu, nama paus ini juga diabadikan oleh Seminari Tinggi Interdiosesan “Beato Giovanni XXIII” Malang, Jawa Timur. Sejak 15 Agustus 1988, seminari tinggi ini menjadi interdiosesan, artinya menjadi tanggungjawab beberapa keuskupan: Surabaya, Denpasar dan Malang. Selain tiga keuskupan ini, beberapa keuskupan juga mengirim para calon imamnya untuk dididik di seminari ini.
Napak tilas Pontifikal
Santo Yohanes XXIII selama masa kepausannya tercatat telah menerbitkan 47 konstitusi apostolik, 14 Motu Proprio dan delapan ensiklik: Ad Petri Cathedram (1959), Sacerdotii Nostri Primordia, Grata Recordatio (1959), Princeps Pastorum (1959), Mater et Magistra (1961), Aeterna Dei Sapientia (1961), Paenitentiam Agere (1962), Pacem in Terris (1963) dan salah satu karya besarnya ialah Konsili Vatikan II. Secara tidak terduga, pada 1959 sekitar tiga bulan menjalani masa pontifikalnya, Paus Yohanes XXIII mencetuskan Konsili Vatikan II. Melalui Konsili Vatikan II, Santo Yohanes XXIII telah membuka jendela-jendela Gereja, agar dunia dapat melihat kebenaran yang terdapat didalam Gereja Katolik dan sebaliknya Gereja diajak keluar untuk berdialog dengan perkembangan zaman, aneka budaya, agama dan kemiskinan. Ada tiga sasaran yang mau dicapai melalui konsili ini, yakni pembaruan rohani dalam terang Injil, penyesuaian Gereja dengan masa sekarang (aggiornamento) serta menanggapi tantangan-tantangan zaman, dan pemulihan persekuan umat Kristen.
Konsili yang dicetus oleh Santo Yohanes XXIII ini, berlangsung dalam empat sesi persidangan. Sesi pertama digelar pada 11 Oktober – 8 Desember 1962. Sesi kedua pada 29 September – 4 Desember 1963. Sesi ketiga diadakan pada 14 September – 21 November 1964. Dan sesi terakhir digelar 14 September – 8 Desember 1965, yang menghasilkan 16 Dokumen: empat konstitusi, sembilan dekrit dan tiga deklarasi.
Santo Yohanes XXIII tidak mengikuti Konsili Vatikan dari awal hingga akhir karena ia wafat saat memasuki persiapan sidang kedua, 3 Juni 1963. Paus Yohanes XXIII wafat pada usia 81 tahun. Seperti perkiraan banyak orang sebelumnya, masa pontifikalnya amatlah singkat. Ia wafat karena kanker perut yang telah di rahasiakannya. Sebelum ia wafat, dalam beberapa penampilan ia sudah terlihat pucat. Sehari setelah setelah Yohanes XXIII wafat, Vaticanista John L. Allen Jr. menulis di Koran Italia Gazzeta del Popolo “Suatu hari nanti sebutan Bapa Suci bagi Yohanes XXIII tak hanya melekat sebagai gelar Paus, melainkan secara kanonik. Kita berharap, tak seorang pun akan merasa menuntut pembuktian suatu mukjizat yang dibutuhkan untuk kanonisasinya”.
Pembukaan proses beatifikasi Paus Yohanes XXIII didahului oleh persetujuan Vatikan atas mukjizat yang dialami Suster Caterina Capitani. Sr Caterina ialah seorang biarawati asal Italia berusia 22 tahun dan tergabung dalam Kongregasi Putri Kasih (PK), yang mendadak menderita sakit di bagian perut dan ulu hatinya. Dokter yang saat itu merawatnya telah memberi peringatan keras agar menjaga kondisi badan dan menyuruh dia beristirahat total. Namun, Sr Caterna justru semakin giat dalam karya kerasulan dan melayani orang sakit. Dua tahun kemudian, dokter menyatakan, pancreas dan limpanya tidak berfungsi baik, sehingga harus dilakukan operasi. Sr Caterina pun menjalani operasi dengan didampingi oleh gambar Paus Yohanes XXIII. Sembilan hari setelah operasi, kondisi Sr. Caterina membaik. Namun, selang beberapa hari kondisi kesehatannya malah memburuk. Pada saat-saat kritis itu, seorang suster yang merupakan rekan dari Sr Caterina membawakan relikwi Paus Yohanes XXIII berupa kain. Lalu, kain tersebut diletakkan di perut Sr Caterina. Pada suatu ketika, Sr Caterina merasakan ada sebuah tangan yang menjamah perutnya. Saat kesadarannya menurun, ia juga melihat sosok seperti Paus Yohanes XXIII berdiri dan tersenyum didekatnya. Setelah peristiwa itu, Sr Caterina dinyatakan sembuh total.
Melalui mukjizat yang dialami oleh Sr Caterina inilah proses beatifikasi Paus Yohanes XXIII dibuka. Pada 3 September 2000, Paus Yohanes Paulus II memberikan gelar beato kepada pendahulunya in. Setelah upacara beatifikasi, jenasah Paus Yohanes XXIII dipindahkan dari pemakaman di ruang bawah tanah Basilika St. Petrus ke makam baru yang juga berada dalam basilika besar ini.
Tiga belas tahun kemudian, Jumat 5 Juli 2013, Paus Fransiskus merestui kanonisasi Paus Yohanes XXIII, tanpa mukjizat. Bila didengar berita ini sangat mengherankan, karena pada umumnya, proses kanonisasi harus disertai dengan mukjizat. Juru bicara Vatikan, Pater Federico Lombardi SJ mengatakan, kanonisasi paus ini berkaitan dengan peringatan 50 tahun Konsili Vatikan II dan kesucian paus ini juga “tidak diragukan lagi”. Maka Paus Fransiskus akan menggelar upacara kanonisasi pada Hari Minggu Kerahiman Ilahi, 27 April 2014.
Bersamaan dengan Paus Yohanes Paulus II
Allah selalu memanggil manusia didalam kekudusan. “Menjadi kudus bukanlah keistimewaan beberapa orang namun panggilan bagi semua orang” demikianlah yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus. Orang-orang yang telah menjaga kekudusan hidupnya dikukuhkan oleh Gereja sebagai saksi bahwa kesucian bukanlah suatu hal yang mustahil untuk di manifestasikan didalam hidup. Para kudus merupakan saksi dari semuanya itu. Bunda Gereja dengan sukacita menyambut dua putra agungnya yang semasa hidupnya telah duduk di Takhta St. Petrus dan kini diangkat menjadi santo: Yohanes XXIII & Yohanes Paulus II. Melihat begitu besarnya peran dua santo ini didalam hidup Gereja, dimana Paus Yohanes XXIII dalam karyanya yaitu Konsili Vatikan II dan Paus Yohanes Paulus II sebagai seorang yang mencoba menyebarkan pesan dari Konsili Vatikan II ditengah-tengah Gereja, dalam menyongsong Millenium III.
Sejarah hidup Paus Yohanes Paulus II
Paus Yohanes Paulus II
Karol Josef Wojtyla, beginilah nama asli dari sang Santo, yang lahir pada 18 Mei 1920 di Wadowice, sebuah kota di sebelah barat daya Kota Krakow, Polandia. Ia dibaptis oleh Romo Franciszek Zak. Masa kecilnya dipenuhi dengan kedukaan yang mendalam. Ibunya yang bernama Emilia Kaczorowska meninggal saat usianya 8 tahun dan kakak tertuanya, Edmund Wojtyla meninggal pada saat ia berusia 12 tahun. Benih panggilannya mulai tumbuh saat ayahnya meninggal akibat serangan jantung. Waktu itu Lolek (nama kecil Paus Yohanes Paulus II) masih berusia 20 tahun. Sepeninggal ayahnya, saya semakin sadar akan jalan kebenaran. Saya yakin benar kalau Tuhan memanggil saya“ urainya dalam sebuah memoir. Pengalaman unik pada masa kecil Lolek ialah ia pernah bekerja sebagai buruh penggalian batu.
Hal lainnya yang merupakan memori mendebarkan dalam diri seorang Karol Wojtyla, yakni saat pihak Nazi Jerman mengejar-ngejar dan hendak menangkapnya. Sehingga ia memutuskan untuk mengungsi ke pastoran Keuskupan Agung Krakow hingga perang berakhir, inilah momen yang tepat bagi Wojtyla untuk memurnikan panggilannya.
Imannya sebagai Katolik semakin diuji ketika kaum Nazi semakin gencarnya menjajah Polandia. Perang yang berkecamuk menggembleng pilihan kepada sebuah pilihan hidup khusus yakni menjadi seorang imam. Di sinilah ia merasakan dan memaknai panggilan hidup yang berasal dari Tuhan sendiri. Pada akhir musim gugur pada tahun 1942, Karol Wojtyla semakin sadar akan panggilan hidupnya untuk menjadi seorang imam, sehingga ia mulai belajar di seminari “bawah tanah” yang dicetus oleh Kardinal Adama Stefan Sapieha di Keuskupan Agung Krakow. Kemudian setelah menamatkan studinya di seminari tersebut, ia kemudia kembali studi teologi di Universitas Jaghellonica, Krakow dan ditahbiskan menjadi imam diosesan pada 1 November 1946 oleh Uskup Agung Krakow.
Kemudian Romo Karol ditahbiskan menjadi menjadi Uskup Agung Krakow oleh Paus Paulus VI. Mgr Karol merupakan salah seorang pemikir yang handal di Konsili Vatikan II sehingga cukup disegani oleh para Uskup yang hadir saat itu, karena keikutsertaannya pada Konsili Vatikan II, ia pun diangkat menjadi Kardinal. Saat Paus Yohanes Paulus I wafat; ia ikut serta dalam konklaf untuk memilih paus baru dan pilihan Tuhan jatuh padanya, sehingga Kardinal Karol menjadi Paus ke- 264 Gereja Katolik dengan nama Yohanes Paulus II.
Ensiklik pertama yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II adalah Redemptor Hominis pada 15 Maret 1979 dan yang terakhir ialah Ecclesia de Eucharistia pada 17 April 2003 dengan tujuan untuk menghidupkan kembali penyembahan terhadap Sakramen Ekaristi. Selama menjabat sebagai Paus, ia telah mengeluarkan 14 Ensiklik, 15 Nasihat Apostolik, 11 Konstitusi Apostolik, dan 45 Surat Apostolik. Selain itu tercatat, Yohanes Paulus II melakukan 482 kanonisasi dan memimpin 147 beatifikasi dari 1.338 beato-beata yang diangkatnya.
Paus Yohanes Paulus II dan Mehmet Ali Agca
Selama menjadi Paus, telah terjadi berbagai peristiwa yang menggemparkan dunia, salah satu diantaranya ialah pada tanggal 13 Mei 1981, ia hampir tewas akibat ditembak Mehmet Ali Agca dan memberikan teladan yang mencengangkan, saat ia menjenguk Ali Agca di penjara Rebibbia dan seusai berbincang-bincang dengannya, ia berkata “Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang sudah saya ampuni dan saya percayai sepenuhnya.”
Jejak Paus Yohanes Paulus II di Indonesia
Kebahagiaan besar menyelimuti hati umat Katolik Indonesia, yang 25 tahun lalu menjadi saksi hidup kehadiran Paus Yohanes Paulus II (YP II) di bumi Nusantara ini. Tepatnya 9-14 Oktober 1989. Begitu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, YP II lansung mencium bumi Nusantara. Inilah tanda cinta, berkat dan penghormatannya kepada Indonesia.
Besarnya cinta YP II terhadap Indonesia mulai terbaca, sejak Bapa Suci itu mempersiapkan diri di Vatikan sebelum melawat ke Indonesia. Seorang imam Indonesia, yang saat itu tengah studi di Roma, RD Suratman Gito Wiratma dipanggil secara khusus. Bapa Suci memintanya untuk mengajari bahasa Indonesia yang akan dipakai dalam Liturgi Ekaristi selama di Indonesia. Menurut Romo Suratman, Paus menerimanya di studio Takhta Suci. “Saya mengajar liturgi ekaristi dalam bahasa Indonesia, prefasi, aklamasi, dan lain-lain, selama satu jam perhari. Saya mengajar hanya dua hari.”
Di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin 9 Oktober 1989, YP II disambut dengan upacara kenegaraan setelah turun dari pesawat Korean Airline yang menerbangkannya dari Seoul. Pada kesempatan pertama, YP II disambut oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Yang menarik, Bapa Suci memberikan souvenir berupa kotak kecil berisi Rosario kepada Ny. Tien Soeharto. Spontan Ibu Tien membukanya dan mengalungkan Rosario itu dilehernya selama pertemuan. Dalam pertemuan itu, Bapa Suci mengungkapkan kekagumannya akan falsafah Pancasila. Hal menarik dalam Pancasila menurut dia, adalah nilai toleransi sesama umat beragama. Setelah itu, YP II memimpin Perayaan Ekaristi di Stadion Utama Senayan, Jakarta yang dihadiri sekitar 120 ribu umat Katolik dari Keuskupan Agung Jakarta, Bogor, Bandung, Lampung, Sumatra Selatan dan Kalimantan. Selama memimpin misa, Paus memakai bahasa Indonesia. Sementara, khotbah dalam bahasa Italia, diterjemahkan langsung oleh konselebran utamanya, Mgr Leo Soekoto SJ, Uskup Agung Jakarta. Dalam khotbahnya, Paus mengingatkan agar umat Katolik Indonesia menjadi putra-putri yang tangguh dan warga Indonesia sejati. “Dia juga menyerukan pentingnya kerukunan antar-umat beragama.
Memasuki awal tahun 2005, kesehatan Bapa Suci terus menurun dan pada akhirnya ia menghembuskan nafas yang terakhir 2 April 2005. Dunia merasakan kehilangan yang begitu mendalam, tak henti-hentinya umat Kristen dari seluruh dunia mendoakan Paus Yohanes Paulus II. Lapangan Santo Petrus menjadi penuh dengan pelayat dari penjuru dunia, yang masing-masing memiliki tujuan untuk melihat jasad Paus yang terakhir kalinya. Tak henti-hentinya massa yang berkumpul di lapangan karya Bernini tersebut meneriakkan “Santo subito! Santo subito! Santo subito!” agar sang Paus segera dinyatakan sebagai santo. Misa requiem dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger (Paus Emeritus Benediktus XVI). Dihadiri lebih dari 200 delegatus resmi, serta perwakilan dari semua agama besar di dunia. Pemakaman itu dihadiri langsung oleh 250.000 hingga 300.000 orang.
Tanda-tanda kekudusan dari Paus Yohanes Paulus II mulai menyerbak, salah satu diantaranya berkat perantaraan YP II, Sr Maria Pierre Simon sembuh dari penyakit Parkinson. Karena mukjizat ini, Paus Benediktus pun menandatangi dekrit yang diperlukan untuk beatifikasi dan menyebut YP II sebagai Venerabilis. Paus Yohanes Paulus II dinyatakan sebagai Beato pada 1 Mei 2011. Pada 5 Juli 2013, mukjizat terjadi pada Floribeth Mora Diaz dari kota San Jose Costa Rica, yang sembuh dari penyakit aneurisma celebral yang disebabkan oleh pelebaran dinding pembuluh arteri di otak, setelah berdoa lewat perantaraan YP II. Tidak sedikit orang yang menyebut Yohanes Paulus II, sebagai “Kristus” sendiri karena tindakannya yang benar-benar mencerminkan tindakan seorang Kristen, ia mengasihi begitu banyak orang dan bahkan ia mengampuni orang yang hampir membunuhnya. Sehingga melihat Paus Yohanes Paulus dinyatakan sebagai santo pada 27 April 2014, seakan membuat kita tidak perlu bertanya kembali.
Sumber: Katolisitas Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar