Pernah suatu ketika, seorang pemuda
dari suatu Gereja Kristen non-Katolik menyatakan keberatannya akan kepercayaan
gerejanya sendiri yang menyatakan bahwa hanya orang Kristenlah yang akan
diselamatkan, “Lalu ke mana perginya semua orang yang non-Kristen?” Ini
merupakan pertanyaan besar dari abad ke abad. Apakah Allah mengaruniakan
keselamatan hanya kepada orang Kristen saja?
Ini juga yang sebenarnya merupakan
masalah rumit yang dihadapi Gereja sepanjang sejarah. Masalah ini antara lain
menimbulkan kesulitan Gereja dalam menyampaikan Kabar Gembira, khususnya di
dunia Timur yang penuh dengan spiritualitas-spiritualitas yang sangat mendalam
dan mengakar. Suatu agama atau kepercayaan yang berani membuat pernyataan bahwa
di luar apa yang mereka ajarkan tidak ada keselamatan akan segera dicap sombong
dan gila. Cobalah menempatkan diri Anda saat ini dalam kalangan penganut agama
asli di salah satu negara Asia (ini pasti tidak akan terlalu sulit bagi Anda),
lalu suatu saat Anda pergi ke acara kebaktian agama 'baru' dan mendengarkan
seorang penginjil yang dengan lantang mengatakan di atas mimbar bahwa semua
orang yang tidak mau menerima ajarannya akan masuk ke dalam neraka! Apa yang
akan Anda rasakan?
Apa pikiran Anda tentang Allah agama
'baru' itu saat itu? Inilah Allah yang tidak adil dan kejam. Bagaimana mungkin
para pendahulu Anda yang hidup sungguh-sungguh saleh dan suci menurut ajaran
kepercayaan Anda tiba-tiba dicampakkan ke dalam api neraka? Bagaimana mungkin orang-orang
yang Anda kenal, yang hidup dengan tatanan moral kebajikan yang begitu tinggi,
harus masuk ke dalam kebinasaan kekal sematamata hanya karena mereka tidak
pernah mendengarkan ajaran agama 'baru' itu? Sungguh tidak masuk akal!
Karena masalah ini cukup rumit dan
sepanjang sejarah telah banyak dipertentangkan, saya mengajak Anda untuk secara
bertahap melihat permasalahan ini. Dan juga sebelum Anda membaca lebih lanjut,
saya mohon dengan sangat kepada Anda untuk tidak membaca uraian saya
sepotong-sepotong, melainkan membacanya secara keseluruhan. Keterbatasan saya
telah membuat uraian berikut tidak jelas jika dibaca sebagian saja. Oleh karena
itu, jika Anda tidak yakin dapat menyelesaikan artikel ini, baik secara
langsung maupun bertahap, saya mohon dengan hormat untuk tidak meneruskan sebab
dapat menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.
ARTI KESELAMATAN
Pertama-tama kita perlu mengerti apa
arti keselamatan menurut ajaran Kristen. Allah mengasihi manusia sebab Ia telah
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri. Akan tetapi, karena
kesombongan dan ketidaktaatannya, manusia jatuh ke dalam dosa dan akibatnya
manusia terpisah dari Allah. Allah sendiri tidak pernah berhenti mengasihi
manusia sebab Ia tidak dapat mengingkari Diri-Nya Sendiri yang adalah kasih. Ia
tidak menghendaki kebinasaan manusia. Sehingga pada kepenuhan waktu Ia mengutus
Putera-Nya yang tunggal, Yesus Kristus, turun ke dunia untuk menebus dosa
seluruh umat manusia, dari manusia pertama sampai manusia terakhir. Dengan
inkarnasi, penderitaan, wafat, dan kebangkitan-Nya, Yesus telah memulihkan
kembali hubungan manusia dengan Allah. Atas jasa Yesus Kristus, manusia dapat
kembali menikmati hidup bersatu dengan Allah dalam keabadian. Inilah arti
keselamatan, ditebus dari keadaan dosa kepada kehidupan dalam kebahagiaan abadi
di surga.
Akan tetapi, di balik semua karya
keselamatan Allah ini, ada sebuah misteri besar yang hanya dapat dijawab oleh
Allah sendiri, yakni: misteri kehendak bebas manusia. Walaupun mahakuasa, Allah
seolah-olah membatasi diri-Nya sendiri dengan membiarkan manusia mengambil
keputusannya sendiri secara bebas, menerima atau tidak menerima, percaya atau
tidak percaya akan wahyu-Nya, dalam hal ini wahyu-Nya yang terbesar, Putera-Nya
sendiri: Yesus Kristus.
Apakah semua manusia bisa
diselamatkan? Ya, jasa Yesus cukup untuk menebus semuanya. Lagipula, Allah
sejak semula menghendaki agar semua manusia diselamatkan (bdk. 1 Tim 2:3-6).
Akan tetapi, apakah semua manusia mau menerima keselamatan ini? Dengan sedih
kita harus mendapati kenyataan bahwa justru dari antara umat manusia sendiri
ada yang menolak keselamatan. Mengapa? Kita tidak tahu sebab, sekali lagi, ini
adalah misteri kehendak bebas manusia. “Terang telah datang ke dalam dunia,
tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang ... Barangsiapa
percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat
kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di
atasnya ... dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk
hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk
dihukum.” (Yoh 3:19.36; 5:29).
Tidak semua manusia mencapai
keselamatan dan bagi mereka yang tidak berhasil mencapainya telah tersedia
hukuman. Apakah hukumannya? Kebinasaan kekal atau yang biasa kita sebut dengan
istilah neraka.
KESELAMATAN, MILIK
SIAPA?
Yesus bersabda: “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku.” (Yoh 14:6). Dan ini pulalah yang menjadi cetusan keyakinan
para pengikut-Nya, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain
di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan
kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4: 12). Apakah
ini berarti bahwa hanya orang Kristen - yang dari namanya berarti pengikut
Kristus - saja yang berhak akan keselamatan atau kehidupan kekal?
Jika kita ingin menafsirkan arti
kata-kata Yesus, seperti yang harus dilakukan setiap kali kita ingin
menafsirkan kata-kata dalam Kitab Suci, kita harus melihat konteks keseluruhan
lnjil. Yesus datang untuk semua orang. Ia turun ke dunia bukan hanya sebagai
Anak Daud, tetapi juga sebagai Anak Manusia, Anak Adam. Jika hanya para pengikut
Kristus, yang baru muncul setelah Yesus, saja yang diselamatkan, bagaimana
nasib Adam, Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud, Elia, dan semua orang yang
kita kenal sebagai orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama?
Penebusan Kristus melingkupi seluruh
dunia dan seluruh masa: dulu, sekarang, dan masa yang akan datang. “Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada.” (Yoh
8:58). “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia ini dijadikan.”
(Ef 1:4a). Kerahiman Allah tidak mengenal diskriminasi. Semua manusia adalah
ciptaan-Nya, menurut gambar dan rupa-Nya. Inilah nilai universal karya penebusan
Kristus. Apabila Yesus menebus Adam, Nuh, Abraham, dan semua orang kudus
Perjanjian Lama, yang belum pernah mendengar tentang Dia, tentu rahmat
penebusan-Nya ini akan menjangkau pula mereka, yang walaupun hidup setelah Dia,
tidak pernah mendengar Kabar Gembira tentang Dia bukan karena kesalahan mereka
sendiri.
Ada dua aspek penting dalam hal ini.
Yang pertama, mereka bisa diselamatkan, tetapi tetap atas jasa Yesus Kristus
dan melalui Dia-lah mereka akan mencapainya. Mereka yang bukan karena kesalahan
mereka sendiri tidak pernah mendengar kabar akan Yesus Kristus, pada akhir
zaman akan diadili oleh satu hakim yang sama, Yesus Kristus. Kedua, mereka akan
diadili menurut ukuran kerahiman Allah berdasarkan hati nurani dan kebebasan
kehendak masing-masing pribadi. Allah menciptakan manusia untuk Diri-Nya
Sendiri. Oleh sebab itulah - seperti yang dikatakan oleh Blaise Pascal - di
dalam diri manusia ada suatu kekosongan yang hanya dapat dipenuhi oleh Allah. Santo
Agustinus mengerti akan hal ini saat ia berdoa: “Engkau menciptakan kami
untuk-Mu, dan jiwa kami tidak akan tenang sebelum beristirahat di dalam Engkau,
ya Tuhan.”
Para kudus Perjanjian Lama, sekalipun
belum pernah bertemu dengan Yesus secara fisik, sebenarnya telah mengenal Dia
di dalam kekekalan sebagai jalan menuju kehidupan. Wahyu-wahyu yang mereka
terima, ditanggapi mereka dengan sungguh-sungguh sehingga mereka juga oleh
Yesus Kristus ditentukan menjadi anak-anak Allah di dalam kasih-Nya (bdk. Ef
1:5). Demikian juga misalnya: suku-suku terpencil di pedalaman Irian yang belum
pernah menerima pewartaan Kabar Gembira secara langsung, juga menerima rahmat
penebusan Kristus dan akan diselamatkan jika mereka mengikuti hati nurani
mereka untuk mengabdi Allah yang esa dan melakukan kehendak-Nya.
Sebagaimana diajarkan secara jelas
oleh Gereja melalui Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Konsili Vatikan II,
“Mereka dapat mencapai keselamatan jika tanpa kesalahan dari pihak mereka
sendiri tidak mengenal Kabar Gembira Kristus atau Gereja-Nya, namun secara
tulus mencari Allah dan, digerakkan oleh rahmat, berjuang dalam upaya-upaya
mereka untuk melaksanakan kehendak-Nya sebagaimana yang dimengerti mereka
melalui suara hati nurani.” (No.16). Manusia tidak akan dapat mengingkari
kodratnya yang utama dan pertama-tama sebab ia telah dikaruniai akal budi dan
hati nurani untuk mengerti. Dan “karena apa yang dapat mereka ketahui tentang
Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada mereka. Sebab
apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan
keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia ini
diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka
mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya.
Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.”
(Rm.1:19-21).
Pada waktu penghakiman terakhir
mereka yang hidup dengan hati nurani yang murni dan melaksanakan kehendak Allah
atas diri mereka akan mengerti siapa yang telah menebus mereka, yakni Yesus
Kristus, sedangkan bagi mereka yang hidup dalam kegelapan dan mengingkari hati
nuraninya, Kristus akan menjadi hakim yang menjatuhkan hukuman sekali dan untuk
selama-lamanya, yakni kebinasaan yang kekal. Saat itu mereka tidak akan
mempunyai alasan untuk berdalih lagi.
GEREJA DAN
KESELAMATAN
Di luar Kristus tidak ada
keselamatan. Semua manusia, entah Kristen ataupun non-Kristen hanya dapat
mencapai Allah melalui dan atas jasa Yesus Kristus. Lalu apa fungsi Gereja
dalam hal ini? Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah realisasi Kerajaan Allah di
dunia ini, bahtera yang mengangkut semua orang pilihan Allah kepada keselamatan.
Oleh karena nilai esensialnya ini, Gereja tidak dapat menolerir adanya ajaran
bahwa ada keselamatan di luar satu Gereja yang didirikan oleh Kristus sendiri.
Seorang tokoh terkemuka dalam Gereja awali, Santo Siprianus mengungkapkan
keyakinan Gereja ini dengan tegas dalam suratnya: “Bila Allah adalah Bapamu,
maka Gereja adalah ibumu.” “Tidak seorang pun dapat diselamatkan kecuali di
dalam Gereja.” “Di luar Gereja tidak ada keselamatan.”
Dalam konteks Gereja awali, Gereja
berarti hanya satu Gereja, yakni Gereja Kristus, Gereja Katolik. Santo
Agustinus kemudian menambahkan: “Jika engkau tidak berada di dalam tubuh,
engkau tidak berada di bawah kepala. Jika engkau memisahkan diri dari
tubuh-Nya, itu tidak akan membuat Sang Kepala tubuh memisahkan diri dari
tubuh-Nya. 'Dalam kesia-siaanlah engkau memuliakan Aku', Sang Kepala menangis
untukmu dari Surga, 'Sia-sialah engkau memuliakan Aku'. Itu seperti jika
seseorang ingin mencium wajahmu dan sekaligus menginjak kakimu. Dengan sepatunya
yang berpaku ia menghancurkan kakimu saat ia mencoba memegang kepalamu dan
menciumnya; tidakkah engkau akan menghalangi usaha penghormatan itu dan
berseru: 'Hey, apa yang kau lakukan? Engkau menyakitiku!'” Jadi, jelas tidak
mungkin bagi seseorang untuk tetap tinggal di bawah Sang Kepala, yaitu Kristus,
dengan terus-menerus menghujat tubuh-Nya, yaitu Gereja.
Keyakinan Gereja ini diteguhkan lagi
dalam Konsili Lateran IV (tahun 1215): “Barangsiapa yang ingin diselamatkan, di
atas segalanya ia perlu memegang iman Katolik. Dan jika seseorang tidak
berpegang dalam iman ini secara teguh dan utuh, tak dapat diragukan lagi bahwa
ia akan binasa.” Dengan kata lain, sebagaimana tidak ada keselamatan di luar
Kristus, tidak ada pula keselamatan di luar Gereja. Extra ecclesiam nulla
salus! Jika demikian bukankah ini bertentangan dengan pengertian di awal
tulisan ini bahwa orang kafir pun yang jelas-jelas bukan anggota Gereja bisa
diselamatkan asalkan ia hidup sesuai dengan hati nuraninya yang murni dengan
menyembah satu Allah yang benar? Dalam hal ini, kita harus mengerti sebagaimana
Gereja telah mengerti saat ia (Gereja) dengan berani dan tegas mengatakan bahwa
di luar Gereja tidak ada keselamatan.
Kita harus melihat doktrin ini dalam
kacamata iman Gereja secara keseluruhan dan juga faktor sejarah yang
melandasinya. Pertama-tama, sangatlah penting untuk mengerti bahwa doktrin di
luar Gereja tidak ada keselamatan ini tidak ditujukan bagi orang-perorangan
atau pribadi-pribadi non-Katolik, melainkan bagi komunitas-komunitas atau
golongan-golongan non-Katolik. Jika ini benar bahwa hanya ada satu Tubuh
Kristus, pastilah juga hanya ada satu Gereja. Setiap kelompok yang memisahkan
diri dari Gereja atau yang sejak semula memang sudah tidak ada di dalam Gereja
tidak mungkin dapat menjadi perantara kepada keselamatan. Hanya ada satu Gereja
yang memiliki seluruh kepenuhan rahmat dan karenanya menjadi satu-satunya
sarana untuk mencapai keselamatan di dunia ini. Akan tetapi, dalam kenyataannya
tidak ada satu pun kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas non-Katolik yang
sepenuhnya non-Katolik atau anti-Katolik. Dengan kata lain, nilai-nilai luhur
yang membawa keselamatan, yang secara penuh terkandung dalam Gereja, secara
tidak penuh juga ada di dalam mereka.
SAUDARA-SAUDARA YANG
MEMISAHKAN DIRI
Kita lihat golongan pertama, yakni
mereka - baik Gereja Orthodoks di Timur maupun Gereja Protestan di Barat - yang
secara sadar mengambil langkah untuk memisahkan diri dari Gereja. Pemisahan
diri mereka dari Gereja tidak berarti penyangkalan akan seluruh iman dan rahmat
dalam Gereja.
Walaupun mereka menolak Gereja
Katolik, saat pergi mereka membawa serta dan mempertahankan sejumlah besar
keyakinan Gereja sebagai keyakinan mereka juga. Oleh karena itu, mereka, secara
keseluruhan, tetap mewarisi kekayaan rahmat yang ada dalam Gereja, yang telah
diturunkan oleh Kristus melalui para rasul sendiri, misalnya: Sakramen
Pembaptisan, yang merupakan rahmat luar biasa yang disediakan Allah bagi
penebusan dosa.
Walaupun mereka menyangkal ke-Katolik-an
mereka, dengan iman dan cara-cara penyembahan yang Katolik mereka tetap bisa
memperoleh keselamatan. “Karena mereka ini, yang percaya kepada Kristus dan
menerima pembaptisan dengan baik, berada dalam semacam persekutuan dengan
Gereja Katolik, walaupun tidak sempurna.” (Dekrit Konsili Vatikan II tentang
Ekumene, Unitatis Redintegratio, no. 3).
Sehingga benarlah sabda Kristus: “Ada
lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini.” (Yoh. 10:16) Di
mana pun, apabila Injil Kristus sungguh-sungguh diberitakan dan pembaptisan
dilakukan di dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus, rahmat Allah bekerja.
Ketika Yohanes berkata kepada Yesus bahwa ia baru saja mencegah seorang yang
bukan termasuk bilangan para murid Yesus mengusir setan dalam nama Yesus, Yesus
menegurnya, “Jangan kamu cegah, sebab barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada
di pihak kamu.” (Luk. 9:50).
Masalah perpecahan memang sudah ada
sejak awal Gereja. Hal ini secara khusus sangat dicela oleh Rasul Paulus (bdk.
1 Kor 1:10-17; 11:17-22). Perpecahan harus dikutuk (anathema). Namun mereka,
yang sekarang ini lahir dari persekutuan-persekutuan Kristen yang memisahkan
diri dari Gereja dan yang diresapi oleh iman kepada Kristus, tidak dapat
dipersalahkan karena dosa perpecahan (Unitatis Redintegratio, no. 3).
Perpecahan-perpecahan yang terjadi
terkadang timbul dari kesalahan tokoh-tokoh kedua belah pihak. Namun, berbicara
mengenai rahmat dan keselamatan, Gereja mempunyai keyakinan teguh bahwa hanya
melalui Tubuh Kristus sajalah, corong keselamatan satu-satunya, seseorang dapat
mencapai tujuan keabadian, yakni Kristus sendiri, seperti yang ditegaskan oleh
salah seorang teolog terkemuka abad ini: “Walaupun mungkin bukan Gereja Katolik
yang memberikan kepada mereka roti kehidupan dan rahmat, namun roti Katoliklah
yang mereka santap. Dan saat mereka memakannya, mereka, tanpa menyadari ataupun
menginginkan, diikutsertakan dalam substansi adikodrati Gereja. Walaupun secara
lahiriah mereka terpisah dari Gereja, mereka tetap ada di dalam jiwa Gereja.”
(Karl Adam, The Spirit of Catholicism, hal 179).
SAUDARA-SAUDARA LAIN
DI LUAR KRISTEN
Kelompok yang kedua adalah mereka
yang sejak semula memang tidak berada di dalam Gereja. Apakah para penganut
agama non-Kristen bisa diselamatkan? Sebagaimana di dalam diri saudara-saudara
Kristen kita yang lain, para penganut agama non-Kristen juga memiliki
nilai-nilai luhur atau, menurut istilah Konsili Vatikan Il, berkas-berkas
kebenaran yang mempunyai daya penyelamatan.
Paus Paulus VI dalam ensikliknya,
yang membahas tentang perwartaan Injil, berjudul Evangelii Nunciandi,
yang diterbitkan tidak lama setelah penutupan Konsili Vatikan II, memberikan
angin segar bagi evangelisasi dengan mengesampingkan semua prasangka dan
tuduhan yang menyakitkan bagi agama-agama non-Kristen.
Paus menegaskan, “Gereja menghormati
dan menghargai agama-agama non-Kristen sebab mereka merupakan ungkapan hidup
dari jiwa kelompok besar umat manusia. Agama-agama ini mengandung gema usaha
mencari Allah selama ribuan tahun...” Akan tetapi, untuk tidak membuat orang
berpikiran bahwa Gereja menyamakan semua agama, beliau dengan cepat menambahkan
bahwa usaha mereka itu merupakan, “...suatu usaha mencari yang tidak pernah
lengkap, tapi kerap kali dilakukan dengan ketulusan yang besar dan kelurusan
hati.” Dan yang paling penting adalah pernyataan beliau mengenai hubungan
mereka dengan Allah, “Agama-agama tadi telah mengajar generasi-generasi umat
manusia untuk berdoa.” (Evangelii Nunciandi, no. 53).
Santo Thomas Aquinas, berabad-abad
sebelumnya juga telah memberikan pernyataan yang sangat jelas dan cerdas akan
penyelenggaraan Allah, “Allah akan memelihara mereka yang tidak terjangkau oleh
kabar akan Kristus, entah dengan mengirimkan malaikat-Nya kepada mereka ataupun
melalui inspirasi batin.” (De Veritate, XIV, 11, ad 1).
Ini luar biasa! Allah memperhatikan
semua manusia dengan segala kebijaksanaan-Nya. Kita mengerti sekarang bagaimana
manusia, meskipun tidak menerima wahyu Allah sejelas wahyu-Nya kepada bangsa
Yahudi dan yang disempurnakan secara penuh dalam diri Putera-Nya, Yesus
Kristus, ternyata secara samar-samar dapat menangkap wahyu Allah kepada mereka,
entah itu melalui penampakan malaikat Allah ataupun inspirasi di dalam diri
mereka yang terdalam! Allah sungguh-sungguh hadir juga dalam diri mereka,
meskipun tidak sama dengan kehadiran-Nya dalam diri mereka yang telah dibaptis
dalam air dan roh, tetapi Ia hadir secara hakekat dan ya, bahkan - dalam
kualitas tertentu - secara rahmat.
Gereja sejak semula mengajarkan bahwa
rahmat Allah juga bekerja di luar Gereja yang kelihatan. Di sini kita bisa
melihat perbedaan yang mendasar antara rumusan 'extra ecclesiam nulla salus'
dengan rumusan 'extra ecclesiam nulla conceditur gracia' (di luar Gereja tidak
ada rahmat). Ini menjelaskan banyak hal, tetapi di pihak lain juga
membangkitkan satu pertanyaan besar, “Jika hanya di dalam Gereja ada
keselamatan, apakah nilai-nilai luhur yang memberikan keselamatan diberikan
kepada mereka melalui Gereja? Jika demikian, apakah nilai-nilai luhur itu
semata-mata milik Gereja yang 'dipinjamkan' kepada yang lain?”
UNIVERSALITAS DAN
EKSKLUSIFITAS GEREJA
Kardinal Newman, seorang eks-pastor
Protestan yang akhirnya menjadi Katolik dan yang kemudian bahkan terpilih
menjadi salah seorang uskup Gereja Katolik, pernah mengatakan bahwa seandainya
Gereja Katolik itu salah, kesalahannya itu pasti tidak kurang daripada
kesalahan diabolik (kerasukan setan). Sebaliknya jika ia (Gereja Katolik)
benar, pastilah ia didirikan dan diselenggarakan secara ilahi.
Klaim Gereja akan dirinya sendiri
memang sangat tinggi. Ia mengklaim dirinya tidak kurang daripada Tubuh Kristus
sendiri, pemenuhan Kerajaan Allah di dunia, Gereja Kemanusiaan (Church of
Humanity) yang memiliki kepenuhan nilai-nilai religius, institusi eksklusif
tempat semua orang dapat memperoleh keselamatan. Ia tidak dapat mengakui bahwa
orang dapat diselamatkan dengan menjadi anggota kelompok lain di luar Gereja
primer, Gereja yang didirikan oleh Kristus sendiri.
Sesungguhnya kita harus mengerti
bahwa Gereja, dalam hal ini, melihat semuanya di dalam terang universalitas dan
keabadian, bukan semata-mata paham 'kemungkinan'. Memang, seperti telah
diterangkan di atas, Gereja selalu menghargai kepercayaan dari kelompok lain
bahkan mengakui bahwa banyak nilai-nilai yang terkandung di dalam
kelompok-kelompok itu sungguh-sungguh mengandung unsur pewahyuan ilahi, tetapi
yang - sekali lagi - tidak pernah lengkap.
Dari sini Gereja melihat adanya
bahaya yang sangat besar dari sistem-sistem religius ini. Gereja mengingatkan
bahwa tanpa pengenalan akan Kristus mereka akan cenderung lebih mudah ditipu
dan disesatkan oleh iblis, misalnya melalui: takhyul, kepercayaan kepada
barang-barang keramat (jimat, pembawa keberuntungan, dan lain-lain), sihir,
perdukunan, dan sebagainya.
Di atas, saya telah memakai gambaran
bahtera untuk Gereja dan sekarang saya akan melanjutkan pemakaian gambaran itu.
Kita semua harus mengarungi samudera yang amat luas untuk mencapai keselamatan
dan satu-satunya sarana yang memungkinkan kita sampai kepada tujuan adalah
bahtera Gereja. Di saat kapal-kapal baru yang lebih baru dan canggih silih
berganti terlihat mendahului bahtera ini, ia tetap bergerak dengan lambat. Akan
tetapi, dalam perjalanannya selanjutnya ia mendapati bahwa semua kapal yang
pernah mendahuluinya ternyata tidak pernah berhasil mencapai tujuan mereka.
Badai samudera telah menelan mereka semua.
Di samping itu, ada padanya
penumpang-penumpang, tentu saja terbagi dalam kelas-kelas yang berbeda. Ada di
antara mereka yang memilih bernaung di dalamnya dengan aman dan terlindung. Ada
pula yang memilih menahan dingin dan menanggung risiko tercebur ke dalam laut
dengan menumpang di atas geladaknya. Bahkan ada yang memilih hanya bergantung
pada sisi-sisi badannya tanpa tempat untuk menginjakkan kaki-kaki mereka.
Semuanya adalah penumpang bahtera ini, tetapi siapa yang akan lebih mudah
bertahan di dalam badai?
Memang paham universalitas Gereja ini
sering disalahtafsirkan sebagai suatu bentuk fanatisme sempit (seperti yang
saya lukiskan pada awal tulisan ini), namun saya mengajak Anda dan siapa pun
yang membaca tulisan saya ini untuk benar-benar mempelajari dan mendalami
ajaran-ajaran Gereja Katolik yang sejati (dokumen-dokumen Gereja dan
ajaran-ajaran para Bapa Gereja). Setelah itu Anda bisa memutuskan sendiri,
apakah ini kebenaran atau hanya semata-mata bidaah terbesar yang pernah ada.
sumber : “Vacare
Deo” edisi Agustus / Tahun V / 2003; Media Pengajaran Komunitas Tritunggal
Mahakudus; Pertapaan Shanti Bhuana
Link sumber: katolisitas.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar