Minggu, 10 Mei 2020

Trinitas: Satu Tuhan dalam Tiga Pribadi


Doa Pembukaan

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus,

Ya Allah Tritunggal Maha Kudus, kami memuji nama-Mu dan keajaiban kasih-Mu yang Engkau nyatakan di dalam Kristus Putera-Mu yang telah wafat dan bangkit bagi kami. Di dalam Kristuslah, kami mengenal kedalaman misteri kehidupan-Mu, yang adalah KASIH ilahi. Berikanlah kepada kami, ya Tuhan, rahmat pengertian akan misteri kasih-Mu itu, agar kami dapat memuliakan Engkau dan menyembah kesatuan Kasih Ilahi-Mu. Semoga oleh kuasa-Mu, hati kami dapat terbuka untuk melihat betapa besar dan dalamnya misteri Kasih itu. Di dalam nama Yesus Kristus kami naikkan doa ini. Amin.

Kesalahan persepsi dan tentang Trinitas (Allah Tritunggal Maha Kudus)
Banyak orang yang mempertanyakan ajaran tentang Trinitas, bahkan banyak orang yang bukan Kristen mengatakan bahwa orang Kristen percaya akan tiga Tuhan. Tentu saja hal ini tidak benar, sebab iman Kristiani mengajarkan Allah yang Esa. Namun bagaimana mungkin Allah yang Esa ini mempunyai tiga Pribadi? Untuk memahami hal ini memang diperlukan keterbukaan hati untuk memandang Allah dari sudut pandang yang mengatasi pola berpikir manusia. Jika kita berkeras untuk membatasi kerangka berpikir kita, bahwa Allah harus dapat dijelaskan dengan logika manusia semata-mata, maka kita membatasi pandangan kita sendiri, sehingga kehilangan kesempatan untuk melihat gambaran yang lebih luas tentang Allah. Jika kita berpikir demikian, kita bagaikan, maaf, memakai ‘kacamata kuda’: Kita mencukupkan diri kita dengan pandangan Allah yang logis menurut pikiran kita dan tanpa kita sadari kita menolak tawaran Allah agar kita lebih dapat mengenal DiriNya yang sesungguhnya.

Dari mana kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah Tritunggal?
Walaupun kita mengetahui bahwa konsep Trinitas ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan akal, bukan berarti bahwa Allah Tritunggal ini adalah konsep yang sama sekali tidak masuk akal. Berikut ini adalah sedikit uraian bagaimana kita dapat mencoba memahami Trinitas, walaupun pada akhirnya harus kita akui bahwa adanya tiga Pribadi dalam Allah yang Satu ini merupakan misteri yang tidak cukup kita jelaskan dengan akal, sebab jika dapat dijelaskan dengan tuntas, maka hal itu tidak lagi menjadi misteri. St. Agustinus bahkan mengatakan, “Kalau engkau memahami-Nya, Ia bukan lagi Allah”. ((St. Agustinus, sermon. 52, 6, 16, seperti dikutip dalam KGK 230.)) Sebab Allah jauh melebihi manusia dalam segala hal, dan meskipun Ia telah mewahyukan Diri, Ia tetap tinggal sebagai rahasia/ misteri yang tak terucapkan. Di sinilah peran iman, karena dengan iman inilah kita menerima misteri Allah yang diwahyukan dalam Kitab Suci, sehingga kita dapat menjadikannya sebagai dasar pengharapan, dan bukti dari apa yang tidak kita lihat (lih. Ibr. 11:1-2). Agar dapat sedikit menangkap maknanya, kita perlu mempunyai keterbukaan hati. Hanya dengan hati terbuka, kita dapat menerima rahmat Tuhan, untuk menerima rahasia Allah yang terbesar ini; dan hati kita akan dipenuhi oleh ucapan syukur tanpa henti.

Mungkin kita pernah mendengar orang yang menjelaskan konsep Allah Tritunggal dengan membandingkan-Nya dengan matahari: yang terdiri dari matahari itu sendiri, sinar, dan panas. Atau dengan sebuah segitiga, di mana Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh Kudus menempati masing-masing sudut, namun tetap dalam satu segitiga. Bahkan ada yang mencoba menjelaskan, bahwa Trinitas adalah seperti kopi, susu, dan gula, yang akhirnya menjadi susu kopi yang manis. Penjelasan yang menggunakan analogi ini memang ada benarnya, namun sebenarnya tidak cukup, sehingga sangat sulit diterima oleh orang-orang non-Kristen. Apalagi dengan perkataan, ‘pokoknya percaya saja’, ini juga tidak dapat memuaskan orang yang bertanya. Jadi jika ada orang yang bertanya, apa dasarnya kita percaya pada Allah Tritunggal, sebaiknya kita katakan, “karena Allah melalui Yesus menyatakan Diri-Nya sendiri demikian”, dan hal ini kita ketahui dari Kitab Suci.

Doktrin Trinitas atau Allah Tritunggal Maha Kudus adalah pengajaran bahwa Tuhan adalah SATU, namun terdiri dari TIGA pribadi: 1) Allah Bapa (Pribadi pertama), 2) Allah Putera (Pribadi kedua), dan Allah Roh Kudus (Pribadi ketiga). Karena ini adalah iman utama kita, maka kita harus dapat menjelaskannya lebih daripada hanya sekedar menggunakan analogi matahari, segitiga, maupun kopi susu.

Dasar dari Kitab Suci dan pengajaran Gereja
Yesus menunjukkan persatuan yang tak terpisahkan dengan Allah Bapa, “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30); “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…” (Yoh 14:9). Di dalam doa-Nya yang terakhir untuk murid-murid-Nya sebelum sengsara-Nya, Dia berdoa kepada Bapa, agar semua murid-Nya menjadi satu, sama seperti Bapa di dalam Dia dan Dia di dalam Bapa (lih. Yoh 17: 21). Dengan demikian Yesus menyatakan Diri-Nya sama dengan Allah: Ia adalah Allah. Hal ini mengingatkan kita akan pernyataan Allah Bapa sendiri, tentang ke-Allahan Yesus sebab Allah Bapa menyebut Yesus sebagai Anak-Nya yang terkasih, yaitu pada waktu pembaptisan Yesus (lih. Luk 3: 22) dan pada waktu Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor (lih. Mat 17:5).

Yesus juga menyatakan keberadaan Diri-Nya yang telah ada bersama-sama dengan Allah Bapa sebelum penciptaan dunia (lih. Yoh 17:5). Kristus adalah sang Sabda/ Firman, yang ada bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah, dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan (Yoh 1:1-3). Tidak mungkin Yesus menjadikan segala sesuatu, jika Ia bukan Allah sendiri.

Selain menyatakan kesatuan-Nya dengan Allah Bapa, Yesus juga menyatakan kesatuan-Nya dengan Roh Kudus, yaitu Roh yang dijanjikan-Nya kepada para murid-Nya dan disebutNya sebagai Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, (lih. Yoh 15:26). Roh ini juga adalah Roh Yesus sendiri, sebab Ia adalah Kebenaran (lih. Yoh 14:6). Kesatuan ini ditegaskan kembali oleh Yesus dalam pesan terakhir-Nya sebelum naik ke surga, “…Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus…”(Mat 28:18-20).

Selanjutnya, kita melihat pengajaran dari para Rasul yang menyatakan kembali pengajaran Yesus ini, contohnya, Rasul Yohanes yang mengajarkan bahwa Bapa, Firman (yang adalah Yesus Kristus), dan Roh Kudus adalah satu (lih 1 Yoh 5:7); demikian juga pengajaran Petrus (lih. 1 Pet:1-2; 2 Pet 1:2); dan Paulus (lih. 1Kor 1:2-10; 1Kor 8:6; Ef 1:3-14).

Dasar dari Pengajaran Bapa Gereja
Para Rasul mengajarkan apa yang mereka terima dari Yesus, bahwa Ia adalah Sang Putera Allah, yang hidup dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Iman akan Allah Trinitas ini sangat nyata pada Tradisi umat Kristen pada abad-abad awal.

1. St. Paus Clement dari Roma (menjadi Paus tahun 88-99):
“Bukankah kita mempunyai satu Tuhan, dan satu Kristus, dan satu Roh Kudus yang melimpahkan rahmat-Nya kepada kita?” ((St. Clement of Rome, Letter to the Corinthians, chap. 46, seperti dikutip oleh John Willis SJ, The Teachings of the Church Fathers, (San Francisco, Ignatius Press, 2002, reprint 1966), p. 145))

2. St. Ignatius dari Antiokhia (50-117) membandingkan jemaat dengan batu yang disusun untuk membangun bait Allah Bapa; yang diangkat ke atas oleh ‘katrol’ Yesus Kristus yaitu Salib-Nya dan oleh ‘tali’ Roh Kudus. ((St. Ignatius of Antiokh, Letter to the Ephesians, Chap 9, Ibid., p. 146))

“Ignatius, juga disebut Theoforus, kepada Gereja di Efesus di Asia… yang ditentukan sejak kekekalan untuk kemuliaan yang tak berakhir dan tak berubah, yang disatukan dan dipilih melalui penderitaan sejati oleh Allah Bapa di dalam Yesus Kristus Tuhan kita.” ((St. Ignatius, Letter to the Ephesians, 110))

“Sebab Tuhan kita, Yesus Kristus, telah dikandung oleh Maria seturut rencana Tuhan: dari keturunan Daud, adalah benar, tetapi juga dari Roh Kudus.” ((ibid., 18:2)).

“Kepada Gereja yang terkasih dan diterangi kasih Yesus Kristus, Tuhan kita, dengan kehendak Dia yang telah menghendaki segalanya yang ada.” ((St. Ignatius, Letter to the Romans, 110))

3. St. Polycarpus (69-155), dalam doanya sebelum ia dibunuh sebagai martir, “… Aku memuji Engkau (Allah Bapa), …aku memuliakan Engkau, melalui Imam Agung yang ilahi dan surgawi, Yesus Kristus, Putera-Mu yang terkasih, melalui Dia dan bersama Dia, dan Roh Kudus, kemuliaan bagi-Mu sekarang dan sepanjang segala abad. Amin.” ((St. Polycarp, Ibid., 146))

4. St. Athenagoras (133-190):
“Sebab, … kita mengakui satu Tuhan, dan PuteraNya yang adalah Sabda-Nya, dan Roh Kudus yang bersatu dalam satu kesatuan, –Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.” ((St. Athenagoras, A Plea for Christians, Chap. 24, ibid., 148))

5. Aristides sang filsuf [90-150 AD] dalam The Apology
“Orang- orang Kristen, adalah mereka yang, di atas segala bangsa di dunia, telah menemukan kebenaran, sebab mereka mengenali Allah, Sang Pencipta segala sesuatu, di dalam Putera-Nya yang Tunggal dan di dalam Roh Kudus. ((Aristides, Apology 16 [A.D. 140]))

6. St. Irenaeus (115-202):
“Sebab bersama Dia (Allah Bapa) selalu hadir Sabda dan kebijaksanaan-Nya, yaitu Putera-Nya dan Roh Kudus-Nya, yang dengan-Nya dan di dalam-Nya, …Ia menciptakan segala sesuatu, yang kepadaNya Ia bersabda, “Marilah menciptakan manusia sesuai dengan gambaran Kita.” (( St. Irenaeus, Against Heresy, Bk. 4, Chap.20, Ibid., 148))
“Sebab Gereja, meskipun tersebar di seluruh dunia bahkan sampai ke ujung bumi, telah menerima dari para rasul dan dari murid- murid mereka iman di dalam satu Tuhan, Allah Bapa yang Mahabesar, Pencipta langit dan bumi dan semua yang ada di dalamnya; dan di dalam satu Yesus Kristus, Sang Putera Allah, yang menjadi daging bagi keselamatan kita, dan di dalam Roh Kudus, yang [telah] mewartakan melalui para nabi, ketentuan ilahi dan kedatangan, dan kelahiran dari seorang perempuan, dan penderitaan dan kebangkitan dari mati dan kenaikan tubuh-Nya ke surga dari Kristus Yesus Tuhan kita, dan kedatangan-Nya dari surga di dalam kemuliaan Allah Bapa untuk mendirikan kembali segala sesuatu, dan membangkitkan kembali tubuh semua umat manusia, supaya kepada Yesus Kristus Tuhan dan Allah kita, Penyelamat dan Raja kita, sesuai dengan kehendak Allah Bapa yang tidak kelihatan, setiap lutut bertelut dari semua yang di surga dan di bumi dan di bawah bumi ….” ((St. Irenaeus, Against Heresies, I:10:1 [A.D. 189])).
“Namun demikian, apa yang tidak dapat dikatakan oleh seorangpun yang hidup, bahwa Ia [Kristus] sendiri adalah sungguh Tuhan dan Allah … dapat dilihat oleh mereka yang telah memperoleh bahkan sedikit bagian kebenaran” ((St. Irenaeus, ibid., 3:19:1)).
7. St. Clement dari Alexandria [150-215 AD] dalam Exhortation to the Heathen (Chapter 1)
“Sang Sabda, Kristus, adalah penyebab, dari asal mula kita -karena Ia ada di dalam Allah- dan penyebab dari kesejahteraan kita. Dan sekarang, Sang Sabda yang sama ini telah menjelma menjadi manusia. Ia sendiri adalah Tuhan dan manusia, dan sumber dari semua yang baik yang ada pada kita” ((St. Clement, Exhortation to the Greeks 1:7:1 [A.D. 190])).
“Dihina karena rupa-Nya namun sesungguhnya Ia dikagumi, [Yesus adalah], Sang Penebus, Penyelamat, Pemberi Damai, Sang Sabda, Ia yang jelas adalah Tuhan yang benar, Ia yang setingkat dengan Allah seluruh alam semesta sebab Ia adalah Putera-Nya.” ((ibid., 10:110:1)).
8. St. Hippolytus [170-236 AD] dalam Refutation of All Heresies (Book IX)
“Hanya Sabda Allah [yang] adalah dari diri-Nya sendiri dan karena itu adalah juga Allah, menjadi substansi Allah. ((St. Hippolytus, Refutation of All Heresies 10:33 [A.D. 228]))
“Sebab Kristus adalah Allah di atas segala sesuatu, yang telah merencanakan penebusan dosa dari umat manusia …. ((ibid., 10:34)).
9. Tertullian [160-240 AD] dalam Against Praxeas
“Bahwa ada dua allah dan dua Tuhan adalah pernyataan yang tidak akan keluar dari mulut kami; bukan seolah Bapa dan Putera bukan Tuhan, ataupun Roh Kudus bukan Tuhan…; tetapi keduanya disebut sebagai Allah dan Tuhan, supaya ketika Kristus datang, Ia dapat dikenali sebagai Allah dan disebut Tuhan, sebab Ia adalah Putera dari Dia yang adalah Allah dan Tuhan.” ((Tertullian, Against Praxeas 13:6 [A.D. 216])).

10. Origen [185-254 AD] dalam De Principiis (Book IV)
“Meskipun Ia [Kristus] adalah Allah, Ia menjelma menjadi daging, dan dengan menjadi manusia, Ia tetap adalah Allah.” ((Origen, The Fundamental Doctrines 1:0:4 [A.D. 225])).

11. Novatian [220-270 AD] dalam Treatise Concerning the Trinity
“Jika Kristus hanya manusia saja, mengapa Ia memberikan satu ketentuan kepada kita untuk mempercayai apa yang dikatakan-Nya, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh 17:3). Bukankah Ia menghendaki agar diterima sebagai Allah juga? Sebab jika Ia tidak menghendaki agar dipahami sebagai Allah, Ia sudah akan menambahkan, “Dan manusia Yesus Kristus yang telah diutus-Nya,” tetapi kenyataannya, Ia tidak menambahkan ini, juga Kristus tidak menyerahkan nyawa-Nya kepada kita sebagai manusia saja, tetapi satu diri-Nya dengan Allah, sebagaimana Ia kehendaki agar dipahami oleh persatuan ini sebagai Tuhan juga, seperti adanya Dia. Karena itu kita harus percaya, seusai dengan ketentuan tertulis, kepada Tuhan, satu Allah yang benar, dan juga kepada Ia yang telah diutus-Nya, Yesus Kristus, yang, …tidak akan menghubungkan Diri-Nya sendiri kepada Bapa, jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah juga. Sebab [jika tidak] Ia akan memisahkan diri-Nya dari Dia [Bapa], jika Ia tidak menghendaki untuk dipahami sebagai Allah.” ((Novatian, Treatise Concerning the Trinity 16 [A.D. 235])).

12. St. Cyprian of Carthage [200-270 AD] dalam Treatise 3
“Seseorang yang menyangkal bahwa Kristus adalah Tuhan tidak dapat menjadi bait Roh Kudus-Nya …” ((St. Cyprian, Letters 73:12 [A.D. 253])).

13. Lactantius [290-350 AD] dalam The Epitome of the Divine Institutes
“Ia telah menjadi baik Putera Allah di dalam Roh dan Putera manusia di dalam daging, yaitu baik Allah maupun manusia. ((Lactantius, Divine Institutes 4:13:5 [A.D. 307]))
“Seseorang mungkin bertanya, bagaimana mungkin, ketika kita berkata bahwa kita menyembah hanya satu Tuhan, namun kita menyatakan bahwa ada dua, Allah Bapa dan Allah Putera, di mana penyebutan ini telah menyebabkan banyak orang jatuh ke dalam kesalahan yang terbesar … [yang berpikir] bahwa kita mengakui adanya Tuhan yang lain, dan bahwa Tuhan yang lain itu adalah yang dapat mati …. [Tetapi] ketika kita bicara tentang Allah Bapa dan Allah Putera, kita tidak bicara tentang Mereka sebagai satu yang lain dari yang lainnya, ataupun kita memisahkan satu dari lainnya, sebab Bapa tidak dapat eksis tanpa Putera dan Putera tidak dapat dipisahkan dari Bapa.” ((Lactantius, (ibid., 4:28–29))
14. St. Athanasius (296-373), “Sebab Putera ada di dalam Bapa… dan Bapa ada di dalam Putera…. Mereka itu satu, bukan seperti sesuatu yang dibagi menjadi dua bagian namun dianggap tetap satu, atau seperti satu kesatuan dengan dua nama yang berbeda… Mereka adalah dua,(dalam arti) Bapa adalah Bapa dan bukan Putera, demikian halnya dengan Putera… tetapi kodreat/ hakekat mereka adalah satu (sebab anak selalu mempunyai hakekat yang sama dengan bapanya), dan apa yang menjadi milik BapaNya adalah milik Anak-Nya.” ((St. Athanasius, Four Discourses Against the Arians, n. 3:3, in NPNF, 4:395.))

15. St. Agustinus (354-430), “… Allah Bapa dan Putera dan Roh Kudus adalah kesatuan ilahi yang erat, yang adalah satu dan sama esensinya, di dalam kesamaan yang tidak dapat diceraikan, sehingga mereka bukan tiga Tuhan, melainkan satu Tuhan: meskipun Allah Bapa telah melahirkan (has begotten) Putera, dan Putera lahir dari Allah Bapa, Ia yang adalah Putera, bukanlah Bapa, dan Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putera, namun Roh Bapa dan Roh Putera; dan Ia sama (co-equal) dengan Bapa dan Putera, membentuk kesatuan Tritunggal. ” ((St. Augustine, On The Trinity, seperti dikutip oleh John Willis SJ, Ibid., 152.))

Dalam bukunya, On the Trinity (Book XV, ch. 3), St. Agustinus menjabarkan ringkasan tentang konsep Trinitas. Secara khusus ia memberi contoh beberapa trilogi untuk menggambarkan Trinitas, yaitu:
  • seorang pribadi yang mengasihi, pribadi yang dikasihi dan kasih itu sendiri.
  • trilogi pikiran manusia, yang terdiri dari pikiran (mind), pengetahuan (knowledge) yang olehnya pikiran mengetahui dirinya sendiri, dan kasih (love) yang olehnya pikiran dapat mengasihi dirinya dan pengetahuan akan dirinya.
  • ingatan (memory), pengertian (understanding) dan keinginan (will). Seperti pada saat kita mengamati sesuatu, maka terdapat tiga hal yang mempunyai satu esensi, yaitu gambaran benda itu dalam ingatan/ memori kita, bentuk yang ada di pikiran pada saat kita melihat benda itu dan keinginan kita untuk menghubungkan keduanya.
Khusus untuk point yang ketiga ini kita dapat melihat contoh lain sebagai berikut: jika kita mengingat sesuatu, misalnya menyanyikan lagu kesenangan, maka terdapat 3 hal yang terlibat, yaitu, kita mengingat lagu itu dan liriknya dalam memori/ ingatan kita, kita mengetahui atau memikirkan dahulu tentang lagu itu dan kita menginginkan untuk melakukan hal itu (mengingat, memikirkan-nya) karena kita menyukainya. Nah, ketiga hal ini berbeda satu sama lain, namun saling tergantung satu dengan yang lainnya, dan ada dalam kesatuan yang tak terpisahkan. Kita tidak bisa menyanyikan lagu itu, kalau kita tidak mengingatnya dalam memori; atau kalau kita tidak mengetahui lagu itu sama sekali, atau kalau kita tidak ingin mengingatnya, atau tidak ingin mengetahui dan menyanyikannya.

Pengajaran Gereja: Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus
Syahadat ‘Aku Percaya’ menyatakan bahwa rahasia sentral iman Kristen adalah Misteri Allah Tritunggal. Maka Trinitas adalah dasar iman Kristen yang utama ((Gereja Katolik , Katekismus Gereja Katolik, Edisi Indonesia., 234, 261.)) yang disingkapkan dalam diri Yesus. Seperti kita ketahui di atas, iman kepada Allah Tritunggal telah ada sejak zaman Gereja abad awal, karena didasari oleh perkataan Yesus sendiri yang disampaikan kembali oleh para murid-Nya. Jadi, tidak benar jika doktrin ini baru ditemukan dan ditetapkan pada Konsili Konstantinopel I pada tahun 359! Yang benar ialah: Konsili Konstantinopel I mencantumkan pengajaran tentang Allah Tritunggal secara tertulis, sebagai kelanjutan dari Konsili Nicea (325) ((Konsili Nicea (325): Credo Nicea: “…Kristus itu sehakekat dengan Allah Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar …”)), dan untuk menentang heresies (ajaran sesat) yang berkembang pada abad ke-3 dan ke-4, seperti Arianisme (oleh Arius 250-336, yang menentang kesetaraan Yesus dengan Allah Bapa) dan Sabellianisme (oleh Sabellius 215 yang membagi Allah dalam tiga modus, sehingga seolah ada tiga Pribadi yang terpisah).

Dari sejarah Gereja kita melihat bahwa konsili-konsili diadakan untuk menegaskan kembali ajaran Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/ menyimpang. Jadi yang ditetapkan dalam konsili merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru. Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga Gereja-Nya: sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul. Lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas di dalam artikel terpisah, dalam topik Sejarah Gereja.

Berikut ini adalah Dogma tentang Tritunggal Maha Kudus menurut Katekismus Gereja Katolik, yang telah berakar dari jaman jemaat awal:
  • Tritunggal adalah Allah yang satu. ((Lihat KGK 253)) Pribadi ini tidak membagi-bagi ke-Allahan seolah masing-masing menjadi sepertiga, namun mereka adalah ‘sepenuhnya dan seluruhnya’. Bapa adalah yang sama seperti Putera, Putera yang sama seperti Bapa; dan Bapa dan Putera adalah yang sama seperti Roh Kudus, yaitu satu Allah dengan kodrat yang sama. Karena kesatuan ini, maka Bapa seluruhnya ada di dalam Putera, seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Putera seluruhnya ada di dalam Bapa, dan seluruhnya ada dalam Roh Kudus; Roh Kudus ada seluruhnya di dalam Bapa, dan seluruhnya di dalam Putera.
  • Ketiga Pribadi ini berbeda secara real satu sama lain, yaitu di dalam hal hubungan asalnya: yaitu Allah Bapa yang ‘melahirkan’, Allah Putera yang dilahirkan, Roh Kudus yang dihembuskan. ((Lihat KGK 254))
  • Ketiga Pribadi ini berhubungan satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam hal asal tersebut tidak membagi kesatuan ilahi, namun malah menunjukkan hubungan timbal balik antar Pribadi Allah tersebut. Bapa dihubungkan dengan Putera, Putera dengan Bapa, dan Roh Kudus dihubungkan dengan keduanya. Hakekat mereka adalah satu, yaitu Allah. ((Lihat KGK 255))

Jadi bagaimana kita menjelaskan Trinitas?
Kita akan mencoba memahaminya dengan bantuan filosofi. Dengan pendekatan filosofi, maka diharapkan kita akan dapat masuk ke dalam misteri iman, sejauh apa yang dapat kita jelaskan dengan filosofi. Dengan demikian, filosofi melayani teologi. Untuk menjelaskan Trinitas, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu beberapa istilah kunci, yaitu apa yang disebut sebagai substansi/ hakekat/ kodrat dan apa yang disebut sebagai pribadi/ hypostatis. Pengertian kedua istilah ini diajarkan oleh St. Gregorius dari Nasiansa. Kedua, bagaimana menjelaskan prinsip Trinitas dengan argumentasi kenapa hal ini sudah sepantasnya terjadi atau “argument of fittingness.” Ketiga, kita dapat menjelaskan konsep Trinitas dengan argumen definisi kasih. Berikut ini mari kita lihat satu persatu.

Arti ‘substansi/ hakekat’ dan ‘pribadi’
Mari kita lihat pada diri kita sendiri. ‘Substansi’ (kadang diterjemahkan sebagai hakekat/ kodrat) dari diri kita adalah ‘manusia’. Kodrat sebagai manusia ini adalah sama untuk semua orang. Tetapi jika kita menyebut ‘pribadi’ maka kita tidak dapat menyamakan orang yang satu dengan yang lain, karena setiap pribadi itu adalah unik. Dalam bahasa sehari-hari, pribadi kita masing-masing diwakili oleh kata ‘aku’ (atau ‘I’ dalam bahasa Inggris), di mana ‘aku’ yang satu berbeda dengan ‘aku’ yang lain. Sedangkan, substansi/ hakekat kita diwakili dengan kata ‘manusia’ (atau ‘human’). Analogi yang paling mirip (walaupun tentu tak sepenuhnya menjelaskan misteri Allah ini) adalah kesatuan antara jiwa dan tubuh dalam diri kita. Tanpa jiwa, kita bukan manusia, tanpa tubuh, kita juga bukan manusia. Kesatuan antara jiwa dan tubuh kita membentuk hakekat kita sebagai manusia, dan dengan sifat-sifat tertentu membentuk kita sebagai pribadi.

Dengan prinsip yang sama, maka di dalam Trinitas, substansi/hakekat yang ada adalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan di dalam kesatuan tersebut terdapat tiga Pribadi: ada tiga ‘Aku’, yaitu Bapa. Putera dan Roh Kudus. Tiga pribadi manusia tidak dapat menyamai makna Trinitas, karena di dalam tiga orang manusia, terdapat tiga “kejadian”/ ‘instances‘ kodrat manusia; sedangkan di dalam tiga Pribadi ilahi, terdapat hanya satu kodrat Allah, yang identik dengan ketiga Pribadi tersebut. Dengan demikian, ketiga Pribadi Allah mempunyai kesamaan hakekat Allah yang sempurna, sehingga ketiganya membentuk kesatuan yang sempurna. Yang membedakan Pribadi yang satu dengan yang lainnya hanyalah terletak dalam hal hubungan timbal balik antara ketiganya. ((Lihat KGK 252.))

Argument of fittingness untuk menjelaskan Trinitas
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyai akal budi. ((Dalam bukunya “Isagoge“, pengenalan akan kategori menurut Aristoteles, Filsuf Yunani Porphyry, mengemukakan bahwa Aristoteles membagi substansi atau “substance” berdasarkan “genus” yang mengindikasikan esensi dari sesuatu dan “a specific differences” yang merupakan kategory yang lebih detail dari genus tertentu.)) Akal budi yang berada dalam jiwa manusia inilah yang menjadikan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan ciptaan yang lain. Akal budi, yang terdiri dari intelek (intellect) dan keinginan (will) adalah anugerah Tuhan kepada umat manusia, yang menjadikannya sebagai ‘gambaran’ Allah sendiri.

Nah, intelek dan keinginan tersebut memampukan manusia melakukan dua perbuatan prinsip yang menjadi ciri khas manusia, yaitu: mengetahui dan mengasihi. Kemampuan mengetahui sesuatu tidaklah menunjukkan kesempurnaan manusia, karena kita menyadari bahwa komputer-pun dapat ‘mengetahui’ lebih banyak daripada kita, kalau dimasukkan program tertentu, seperti kamus atau ensiklopedia. Namun, yang membuat manusia istimewa adalah kerjasama antara intelek dan keinginan, jadi tidak sekedar mengetahui, tetapi dapat juga mengasihi. Jadi hal ‘mengasihi’ inilah yang menjadikannya sebagai mahluk yang tertinggi jika dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, apalagi dengan benda-benda mati.

Kita mengenal peribahasa “kalau tak kenal, maka tak sayang“. Peribahasa ini sederhana, namun berdasarkan suatu argumen filosofi, yaitu “mengetahui lebih dahulu, kemudian menginginkan atau mengasihi.” Orang tidak akan dapat mengasihi tanpa mengetahui terlebih dahulu. Bagaimana kita dapat mengasihi atau menginginkan sesuatu yang tidak kita ketahui? Sebagai contoh, kalau kita ditanya apakah kita menginginkan komputer baru secara cuma-cuma? Kalau orang tahu bahwa dengan komputer kita dapat melakukan banyak hal, atau kalaupun kita tidak memakainya, kita dapat menjualnya, maka kita akan dengan cepat menjawab “Ya, saya mau.” Namun kalau kita bertanya kepada orang pedalaman yang tidak pernah mendengar atau tahu tentang barang yang bernama komputer, maka mereka tidak akan langsung menjawab “ya”. Mereka mungkin akan bertanya dahulu, “komputer itu, gunanya apa?” Di sini kita melihat bahwa tanpa pengetahuan tentang barang yang disebut sebagai komputer, orang tidak dapat menginginkan komputer.

Nah, berdasarkan dari prinsip “seseorang tidak dapat memberi jika tidak lebih dahulu mempunyai” ((Prinsip ini sering disebut sebagai salah satu Prinsip yang tidak perlu dibuktikan (‘self-evident principles’), karena memang demikian halnya.)) maka Tuhan yang memberikan kemampuan pada manusia untuk mengetahui dan mengasihi, pastilah memiliki kemampuan tersebut secara sempurna. Jika kita mengetahui sesuatu, kita mempunyai konsep tentang sesuatu tersebut di dalam pikiran kita, yang kemudian dapat kita nyatakan dalam kata-kata. Maka, di dalam Tuhan, ‘pengetahuan’ akan Diri-Nya sendiri dan segala sesuatu terwujud di dalam perkataan-Nya, yang kita kenal sebagai “Sabda/ Firman”; dan Sabda ini adalah Yesus, Sang Allah Putera.

Jadi, di dalam Pribadi Tuhan terdapat kegiatan intelek dan keinginan yang terjadi secara sekaligus dan ilahi, ((Lihat KGK 259)) yang mengatasi segala waktu, yang sudah terjadi sejak awal mula dunia. Kegiatan intelek ini adalah Allah Putera, Sang Sabda (“The Word“). Rasul Yohanes mengatakan pada permulaan Injilnya, “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh 1:1).

Selanjutnya, kesempurnaan manusia sebagai mahluk personal dinyatakan, tidak hanya melalui kemampuannya untuk mengetahui, namun juga mengasihi, yaitu memberikan dirinya kepada orang lain dalam persekutuannya dengan sesama. Maka ‘mengasihi’ di sini melibatkan pribadi yang lain, yang menerima kasih tersebut. Kalau hal ini benar untuk manusia pada tingkat natural, maka di tingkat supernatural ada kebenaran yang sama dalam tingkatan yang paling sempurna. Jadi Tuhan tidak mungkin Tuhan yang ‘terisolasi’ sendirian, namun “keluarga Tuhan”, dimana keberadaan-Nya, kasih-Nya, dan kemampuan-Nya untuk bersekutu dapat terwujud, dan dapat menjadi contoh sempurna bagi kita dalam hal mengasihi. Dalam hal ini, hubungan kasih timbal balik antara Allah Bapa dengan Putera-Nya (Sang Sabda) ‘menghembuskan’ Roh Kudus; dan Roh Kudus kita kenal sebagai Pribadi Allah yang ketiga.

Argumen dari definisi kasih
Seperti telah disebutkan di atas, kasih tidak mungkin berdiri sendiri, namun melibatkan dua belah pihak. Sebagai contoh, kasih suami istri, melibatkan kedua belah pihak, maka disebut sebagai “saling” mengasihi. Kalau Tuhan adalah kasih yang paling sempurna, maka tidak mungkin Tuhan tidak melibatkan pihak lain yang dapat menjadi saluran kasih-Nya dan juga dapat membalas kasih-Nya dengan derajat yang sama. Jadi Tuhan itu harus satu, namun bukan Tuhan betul- betul sendirian. Jika tidak demikian, maka Tuhan tidak mungkin dapat menyalurkan dan menerima kasih yang sejati.

Orang mungkin berargumentasi bahwa Tuhan bisa saja satu dan sendirian dan Dia dapat menyalurkan kasih-Nya dan menerima balasan kasih dari manusia. Namun, secara logis, hal ini tidaklah mungkin, karena Tuhan Sang Kasih Ilahi tidak mungkin tergantung pada manusia yang kasihnya tidak sempurna, dan kasih manusia tidak berarti jika dibandingkan dengan kasih Tuhan. Dengan demikian, sangatlah masuk di akal, jika Tuhan mempunyai “kehidupan batin,” di mana Dia dapat memberikan kasih sempurna dan juga menerima kembali kasih yang sempurna. Jadi, dalam kehidupan batin Allah inilah Yesus Kristus berada sebagai Allah Putera, yang dapat memberikan derajat kasih yang sama dengan Allah Bapa. Hubungan antara Allah Bapa dan Allah Putera adalah hubungan kasih yang kekal, sempurna, dan tak terbatas. Kasih ini membuahkan Roh Kudus. ((Roh Kudus adalah buah dari operasi kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera. Ini sebabnya bahwa setelah Pentakosta terjadi setelah Yesus wafat di kayu salib. Bapa mengasihi Putera-Nya, dan Putera-Nya menunjukkan kasih-Nya dengan sempurna di kayu salib. Buah dari pertukaran dan kasih yang mengorbankan diri inilah yang menghasilkan Roh Kudus. Sehingga dalam ibadat iman yang panjang (Nicene Creed), kita melihat pernyataan “….Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa dan Putera….“)) Dengan hubungan kasih yang sempurna tesebut kita mengenal Allah yang pada hakekatnya adalah KASIH. Kesempurnaan kasih Allah ini ditunjukkan dengan kerelaan Yesus untuk menyerahkan nyawa-Nya demi kasih-Nya kepada Allah Bapa dan kepada kita. Yesus memberikan Diri-Nya sendiri demi keselamatan kita, ((John Paul II, Encyclical Letter on The Redeemer Of Man: Redemptor Hominis (Pauline Books & Media, 1979), no. 10 – Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa kasih yang sempurna adalah kasih yang dapat memberikan diri sendiri kepada orang lain. Dengan demikian, adalah “sesuai atau fitting” bahwa Tuhan, melalui Putera-Nya menjadi contoh yang snempurna bagaimana menerapkan kasih. Dengan demikian ini juga membuktikan bahwa Tuhan bukanlah Allah yang sendirian.)) agar kita dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya oleh kuasa Roh-Nya yaitu Roh Kudus.

Trinitas adalah suatu misteri, dan Tuhan menginginkan kita berpartisipasi di dalam-Nya agar dapat semakin memahami misteri tersebut
Memang pada akhirnya, Trinitas hanya dapat dipahami dalam kacamata iman, karena ini adalah suatu misteri ((KGK 237.)), meskipun ada banyak hal juga yang dapat kita ketahui dalam misteri tersebut. Manusia dengan pemikiran sendiri memang tidak akan dapat mencapai pemahaman sempurna tentang misteri Trinitas, walaupun misteri itu sudah diwahyukan Allah kepada manusia. Namun demikian, kita dapat mulai memahaminya dengan mempelajari dan merenungkan Sabda Allah dalam Kitab Suci, pengajaran para Bapa Gereja dan Tradisi Suci yang ditetapkan oleh Magisterium (seperti hasil Konsili), juga dengan bantuan filosofi dan analogi seperti diuraikan di atas. Selanjutnya, pemahaman kita akan kehidupan Trinitas akan bertambah jika kita mengambil bagian di dalam kasih Trinitas itu, seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.

Di sinilah pentingnya peran Sakramen dan doa: Sakramen Pembaptisan merupakan rahmat awal, ‘gerbang’ yang memungkinkan kita mengambil bagian dalam kehidupan ilahi. Kemudian, Sakramen Ekaristi mengambil peranan utama, karena di dalamnya kita menyambut Kristus sendiri, dan dengan demikian kita mengambil bagian di dalam kehidupan Allah Tritunggal melalui Yesus. Di sinilah juga pentingnya peran penghayatan akan Sakramen Perkawinan, sebab di dalam Perkawinan, kita melihat bagaimana hubungan kasih antara suami dan istri yang direncanakan oleh Allah untuk menjadi gambaran akan kasih Allah Tritunggal. Demikian pula, kasih Allah Tritunggal pula yang mengilhami Sakramen Tahbisan Suci, karena melalui Tahbisan Suci, para imam dipanggil untuk meniru teladan hidup Yesus, terutama dalam hal mengasihi, yaitu dengan memberikan diri kepada Allah dan sesama secara total. Memang, pada dasarnya sakramen-sakramen adalah ‘sarana’ yang diberikan oleh Allah kepada kita, agar kita dapat mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya, terutama pada sub judul: Akibat utama penerimaan Sakramen). Akhirnya, kitapun perlu memeriksa kehidupan doa kita, apakah kita setia dalam menyediakan waktu untuk Tuhan dan menghayati kesatuan denganNya di dalam kehidupan rohani kita? Bagaimana sikap kita terhadap sakramen- sakramen yang dikaruniakan Allah? Adakah kita cukup menghargai dan merindukannya? Pertanyaan ini memang kembali kepada diri kita masing-masing.

Kesimpulan
Melihat begitu dalamnya kehidupan batin Allah, hati kita melimpah dengan ucapan syukur. Sebab kehidupan batin tersebut tidak hanya ‘tertutup’ bagi Allah sendiri, namun Ia ‘membuka’ kehidupan-Nya agar kita dapat mengambil bagian di dalamnya. Ya, Allah sesungguhnya tidak ‘membutuhkan’ kita, sebab kasihNya telah sempurna di dalam kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Namun justru karena kasih yang sempurna itu, Ia merangkul kita semua, jika kita mau menanggapi panggilan-Nya. Mari bersama kita berjuang, agar lebih menghargai rahmat Allah yang terutama dinyatakan di dalam sakramen-sakramen, terutama sakramen Ekaristi, sehingga kita dapat semakin menghayati persatuan kita dengan Kristus, yang membawa kita kepada persatuan dengan Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Dengan persatuan dengan Allah ini, kita mencapai puncak kehidupan spiritualitas, di mana kita dimampukan oleh Allah untuk mengasihi Dia dan sesama.

Doa Penutup

Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus,

Ya Allah, kami bersyukur untuk misteri kehidupan-Mu dalam Tritunggal Maha Kudus. Di dalam kehidupan batinMu, Engkau telah menyingkapkan kepada kami kedalaman kasih-Mu yang tiada batasnya. Ampunilah kami, jika kami sering tidak menyadari panggilan-Mu untuk mengambil bagian di dalam misteri kasih-Mu itu. Kami mohon, ya Tuhan, bantulah kami dengan rahmat-Mu agar kami dapat untuk turut mengambil bagian di dalam misteri Kasih itu, dengan mengambil bagian di dalam sakramen-sakramen yang Engkau berikan, dan bantulah aku untuk lebih setia di dalam kehidupan doaku, agar dengan kekuatan yang Engkau berikan, Engkau memampukan kami untuk mengasihi Engkau dan sesama kami. Di dalam nama Yesus Kristus kami naikkan doa ini. Amin.

Konsili Konstantinopel I (359): menegaskan kembali Credo Nicea. Konsili ini mengembangkan Credo Nicea, yang bersangkutan dengan Roh Kudus, sebagai, “Allah, Pemberi kehidupan, yang berasal dari Bapa, bersama Bapa dan Putera, disembah dan dimuliakan.” Seperti Allah Putera, Roh Kudus adalah satu dan sama hakekatnya (ousia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar