Untuk memahami arti sebutan ini dengan sepenuhnya, kiranya perlu diperhatikan juga Rm 8:3; Gal 4:4; Yoh 3:16-17 dan 1Yoh 4:9 (bdk. Mrk 12:6), yang mengatakan bahwa “Allah mengutus Anak-Nya“. Mengakui Yesus sebagai “Anak Allah” berarti mengakui Dia sebagai utusan Allah dalam arti yang penuh. Khususnya St. Yohanes banyak berbicara mengenai Yesus sebagai utusan Allah. Tidak hanya dikatakan bahwa “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia” (3:17), tetapi Allah sendiri disebut “Dia yang mengutus Aku” (4:34) dan Yesus “Dia yang diutus-Nya” (5:38). Maka cocok sekali pada akhir hidup-Nya Yesus berdoa, “supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku” (17:21; lih. juga ay. 8.23.25). Dan kalau Yohanes biasanya menyebut Yesus “Anak”, kiranya ia mau menonjolkan hubungan pribadi Yesus dengan Allah yang mengutus-Nya.
Secara konkret perutusan Yesus digambarkan dengan jelas dalam Luk 4:18-19 (yang mengutip nabi Yesaya):
“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia mengurapi Aku,untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;Ia telah mengutus Aku untuk memberitakanpembebasan kepada orang-orang tawanan, danpenglihatan bagi orang-orang buta,untuk membebaskan orang yang tertindas,untuk memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang.”
Yesus tampil sebagai pembawa kabar gembira, bahwa Tuhan telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya. Yesus merupakan tawaran rahmat Allah yang definitif. “Berbahagialah orang yang tidak dikecewakan dalam diri-Ku” (Luk 7:23 dsj.). Yesus berkeliling untuk memberi harapan dan iman kepercayaan kepada orang-orang. Iman itu mengangkat orang di atas kekuatannya sendiri, karena mempersatukannya dengan Allah.
Yang paling mengesankan adalah kebebasan-Nya, Yesus tidak tergantung pada siapa pun. Para rabi pada zaman Yesus selalu mencari dukungan bagi ajaran mereka pada ajaran orang lain dari zaman dahulu. Yesus tidak. Malah sebaliknya, “Kamu telah mendengar apa yang difirmankan kepada nenek-moyang kita …, tetapi Aku berkata kepadamu” (Mat 5:21.27.31.33.38.43). Yesus tidak hanya berani melawan ajaran turun-temurun, tetapi juga apa yang diimani sebagai ketetapan Allah sendiri. Terhadap tradisi manusiawi Ia lebih tegas lagi: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadatmu sendiri” (Mrk 7:9). Pegangan hidup Yesus bukanlah adat-istiadat atau ajaran tradisional agama, melainkan kesatuan pribadi-Nya dengan Allah. Hal itu secara paling tegas dirumuskan di dalam injil Yohanes, “Kami berkata-kata tentang apa yang kami ketahui dan kami bersaksi tentang apa yang kami lihat. Tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga, selain Dia yang telah turun dari surga” (Yoh 3:13). Maka, ketika diminta pertanggungjawaban oleh orang Yahudi tentang perbuatan-Nya di dalam kenisah, dengan tenang saja Yesus menjawab: “Aku tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu” (Mrk 11:33).
Sumber: Pendalaman Iman Katolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar