Belakangan ini ada banyak orang bertanya, mengapa dalam dua tahun ini, di perayaan Ekaristi hari Kamis Putih, Paus melakukan hal yang di luar kebiasaan: tahun lalu Paus membasuh kaki 12 orang penghuni penjara remaja, di antaranya 2 orang remaja putri, dan salah satunya bahkan non-Katolik. Lalu tahun ini, Paus juga membasuh kaki 12 orang di panti jompo dan cacat, beberapa di antaranya non-Katolik dan seorang wanita.
Lalu orang bertanya, apakah sebenarnya Paus boleh melakukan hal itu, adakah ketentuannya?
Untuk membahas tentang hal ini, pertama- tama perlu kita sadari terlebih dahulu bahwa kunjungan ke penjara dan ke panti jompo merupakan perbuatan yang baik dan diajarkan oleh Tuhan Yesus (lih. Mat 25:36-40). Maka di sini Paus nampaknya ingin menekankan misinya sebagai pelayan dan pembawa Kabar Gembira kepada segala bangsa. Namun tidak bisa dipungkiri, tindakan ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Beberapa pertanyaan dan pembahasan di bawah ini, kami sarikan dari beberapa sumber, yaitu dari penjelasan apologist Katolik, Jimmy Akin,, dan juga dari sumber lainnya, yaitu penjelasan ayat-ayat tentang pembasuhan kaki :
1. Apakah yang dikatakan dalam dokumen Gereja tentang pencucian kaki?
Terdapat dua dokumen kunci yang menyebutkan tentang pencucian kaki, demikian:
A. Dokumen yang menuliskan ketentuan perayaan yang terkait dengan Paskah, yang disebut Paschales Solemnitatis, yang dikeluarkan oleh Congregation of Divine Worship (Kongregasi Penyembahan Ilahi), 1988:
“51. Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.”Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”
B. Dokumen Roman Missal/ Missale Romawi:
10. Setelah Homili, ketika alasan pastoral menyarankan, pencucian kaki dilangsungkan.Para laki-laki dewasa yang telah dipilih, diarahkan oleh para pelayan untuk duduk di kursi yang telah dipersiapkan di tempat yang layak. Lalu Imam (menanggalkan kasula jika perlu) mendatangi satu persatu, dan dengan bantuan para pelayan, menuangkan air kepada setiap kaki mereka dan mengeringkannya.Sementara itu sejumlah antifon berikut ini atau lagu-lagu lain yang sesuai dinyanyikan. […]13. Setelah Pencucian Kaki, Imam mencuci dan mengeringkan tangannya, mengenakan kasulanya kembali dan kembali ke kursinya dan ia melanjutkan dengan Doa Umat.
Maka di sini dapat dilihat bahwa:
- Teks memang mengatakan bahwa yang dibasuh/ dicuci kakinya adalah laki-laki. Istilah Latin yang digunakan adalah “viri“, yang artinya adalah laki-laki dewasa.
- Ritus ini adalah optional , bukan keharusan melainkan disarankan (ketika alasan pastoral menyarankan).
- Tidak disebutkan berapa banyak jumlah orang yang dicuci kakinya. Tidak dikatakan harus 12 orang.
- Antifon yang disertakan di sana tidak menyebutkan “rasul”. Antifon tersebut menggunakan istilah yang lebih umum, yaitu “murid”, atau kalau tidak, tidak menyebutkan istilah apapun, hanya menunjukkan teladan Yesus untuk kita ataupun perintah-Nya untuk mengasihi satu sama lain.
2. Bagaimana keputusan Paus Fransiskus terkait dengan dokumen ini?
Keputusan Paus Fransiskus dalam hal ini memang tidak sesuai dengan apa yang ditentukan oleh teks dokumen. Dalam kunjungannya ke penjara remaja, Paus memutuskan untuk tidak membasuh laki-laki dewasa, namun remaja putra dan termasuk dua orang remaja putri. Namun fakta bahwa salah satu dari mereka adalah muslim, tidak bersangkutan dengan teks, sebab teks tidak menyebutkan apakah yang dibasuh kakinya harus Katolik. Adalah wajar jika orang menyimpulkan bahwa yang dibasuh kakinya semestinya Katolik, namun secara eksplisit memang tidak disebutkan.
Juga, dari point 1, kita ketahui bahwa hal pembasuhan kaki bukanlah merupakan bagian yang mutlak harus ada dalam liturgi perayaan Kamis Putih. Dikatakan di sana, adalah bilamana/ ketika alasan pastoral menyarankan (“where a pastoral reason suggest it“). Nampaknya, Paus Fransiskus memutuskan untuk melakukannya dengan cara yang berbeda dari para Paus pendahulunya, demi menyampaikan maksud pastoral untuk menjangkau kaum muda yang tersisih di penjara dan juga kaum manula, tanpa membeda-bedakan agamanya. Pada akhirnya Paus, sebagai wakil Kristus, berhak untuk menginterpretasikan teks dokumen ketentuan Gereja, sesuai dengan maksud utamanya.
3. Apakah Paus melakukan hal itu karena mengembalikan tradisi “Mandatum Pauperam?”
Gereja abad-abad awal telah mempunyai kebiasaan membasuh kaki pada perayaan Kamis Putih. Caremoniale episcoporum (ii, 24) menyerahkan kepada Uskup keputusan untuk membasuh kaki 13 orang miskin -yang kemudian dikenal sebagai tradisi Mandatum Pauperam– atau membasuh 13 orang yang ada di bawah kepemimpinannya, menurut kebiasaan Gereja setempat yang dipimpinnya. Tahun 694 di Sinoda Toledo semua uskup dan imam superior diharuskan melakukan pembasuhan kaki, orang-orang yang ada di bawah kepemimpinan mereka. Di abad ke-12, dimulai kebiasaan membasuh kaki 12 orang sub-diakon (Mandatum Fratrum) oleh Paus dalam perayaan Misa yang dipimpinnya, dan kemudian Paus membasuh kaki 13 orang miskin (Mandatum Frateram) setelah makan malam. Nampaknya di zaman itu terdapat dua jenis pembasuhan kaki pada hari Kamis Putih tersebut.
Mungkinkah tradisi membasuh kaki kaum miskin/ tersisih ini yang ingin dilakukan oleh Paus? Mungkin saja. Hanya saja karena Paus memasukkan upacara pembasuhan kaki kaum tersisih ini ke dalam liturgi Kamis Putih, maka banyak orang mempertanyakannya. Namun di sini kita melihat secara obyektif, bahwa hal mencuci kaki para kaum tersisih itu bukan ide Paus yang baru ada saat ini. Hal itu sudah dilakukan sejak lama, hanya saja, dulu memang tidak dilakukan di dalam perayaan Ekaristi.
4. Jika Paus melakukan hal yang melampaui apa yang dikatakan oleh Missale Romawi, apakah boleh?
Ya, boleh saja. Paus tidak butuh meminta izin untuk membuat kekecualian tentang bagaimana suatu ketentuan gerejawi itu dipenuhi. Sebab Paus adalah pembuat hukum Gereja, maka ia merangkap sebagai legislator, interpreter dan executor/ pelaksana hukum tersebut, yang dapat memutuskan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pertimbangan kebijaksanaannya sendiri untuk menyampaikan pesan utama Injil, sesuai dengan keadaan Gereja pada saat tertentu.
Juru bicara kepausan, Fr. Thomas Rosica, mengatakan bahwa maksud Paus Fransiskus merayakan Misa Kamis Putih di penjara Roma (tahun 2013) adalah untuk menekankan esensi makna Injil di hari Kamis Putih, dan suatu tanda sederhana dan indah dari seorang bapa yang ingin merangkul semua yang terpinggirkan di masyarakat…. Itu hendaknya dipandang sebagai tanda sederhana dan spontan dari seorang Uskup Roma, untuk maksud menunjukkan kasih, pengampunan dan belas kasih.
Adalah hak Paus untuk memutuskan sesuai dengan keadaan Gereja di Roma, bagaimana ia hendak menyampaikan maksud utama pesan Injil di hari Kamis Putih tersebut.
5. Kalau Paus dapat melakukan hal itu, dapatkah imam yang lain melakukannya?
Secara teknis, tidak. Jika seorang Paus menilai bahwa sesuai dengan keadaan khusus dari perayaan yang dipimpinnya maka sebuah kekecualian dibuat, namun hal itu tidak menciptakan pola hukum yang memperbolehkan semua Uskup dan imam yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Sebab tidak semua orang memiliki keadaan seperti Paus. Mereka tidak mempunyai keadaan pastoral dan otoritas hukum yang sama dengan Paus, maka wewenang merekapun berbeda dengan wewenang Paus dalam hal ini.
6. Bagaimana kita memahami ritus ini?
Umumnya orang berpandangan bahwa ritus pembasuhan kaki berhubungan dengan peringatan Yesus membasuh kaki ke-12 murid-Nya, dan karena itu, disebutkan sebagai alasan mengapa yang dibasuh kakinya adalah hanya laki-laki. Namun teks dokumen di atas (lihat no.1) memang tidak menyebutkan angka 12 orang. Kisah pencucian kaki diambil dari Injil Yohanes dan di perikop itu disebutkan istilah “murid-murid” dan bukan “rasul-rasul”, namun kalau Injil tersebut dibaca dalam kesatuan dengan ketiga Injil lainnya, dapat dimengerti bahwa peristiwa pembasuhan kaki pada saat Perjamuan Terakhir itu, memang dilakukan Yesus dengan ke 12 rasul-Nya. Sebab Injil Matius dan Markus menyebut bahwa di Perjamuan Terakhir itu Yesus makan bersama dengan ke-12 murid-Nya (lih. Mat 26:20; Mrk 14:17); dan Injil Lukas menyebutkan bahwa Yesus makan bersama dengan rasul-rasul-Nya (lih. Luk 22:14). Namun adalah fakta bahwa Yohanes memilih kata “murid-murid”, bukan “rasul-rasul” untuk mengisahkan peristiwa pembasuhan kaki dalam Injilnya; dan memang hanya Injil Yohanes yang mengisahkan tentang pembasuhan kaki ini. Maka kemudian Gereja melestarikannya upacara pembasuhan kaki untuk maksud yang lebih luas, dan tidak terbatas kepada para rasul. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, ada pembasuhan kaki juga dilakukan kepada sejumlah kaum miskin. Bahkan upacara ini dilestarikan juga di zaman Abad Pertengahan oleh para raja dan ratu Katolik -seperti yang dilakukan oleh para Raja Inggris dan Ratu Isabella II dari Spanyol ((Lih. Thurston, Herbert, Lent and Holy Week (London: Longmans, Green, 1856-1939). p. 306-307))- yang mencuci kaki para bawahannya/ para kaum miskin di kerajaan mereka. Namun tentu tidak pada saat perayaan Misa kudus.
Dengan demikian, nampaknya pembasuhan kaki memang memiliki arti yang lebih luas daripada mandat Kristus kepada para Rasul untuk mengenangkan peristiwa kurban Tubuh dan Darah Kristus dengan mengucap syukur/ berkat, memecah-mecah roti dan membagi-bagikan roti tersebut, yang terjadi oleh perkataan konsekrasi dalam perayaan Ekaristi. Sebab untuk hal yang kedua ini, Injil jelas menyebutkan “keduabelas murid” atau “rasul-rasul”, dan dengan demikian, meng-institusikan Ekaristi kepada kedua belas Rasul-Nya, yang kemudian diteruskan oleh mereka kepada para penerus mereka, yaitu para Uskup dan imam melalui tahbisan. Kepada merekalah Tuhan Yesus memberikan kuasa untuk menghadirkan kembali kurban Tubuh dan Darah-Nya (lih. Luk. 22:19).
Sedangkan tentang pembasuhan kaki penekanannya tidak untuk menghadirkan kembali peristiwa itu, tetapi untuk memberikan teladan pelayanan dan kasih Kristus.
Maka tak mengherankan, jika Paschale Solemnitatis kemudian mengatakan:
“51. Pencucian kaki dari para laki-laki dewasa yang terpilih, menurut tradisi, dilakukan pada hari ini [Kamis Putih], untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, yang telah datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.”Tradisi ini harus dipertahankan, dan pentingnya maknanya dijelaskan secara sepantasnya.”
Karena maksud pencucian kaki ini adalah untuk menyatakan pelayanan dan cinta kasih Kristus, maka tidak ada kaitan langsung antara upacara pembasuhan kaki ini dengan tahbisan imam. Maka sekalipun dari 12 orang yang dibasuh oleh Paus itu ada wanitanya, tidak dapat dikatakan bahwa Paus setuju untuk menahbiskan wanita. Ketika ditanya perihal tahbisan wanita, Paus Fransiskus menjawab, “Sehubungan dengan tahbisan wanita, Gereja telah memutuskan dan mengatakan tidak. Paus Yohanes Paulus II telah mengatakan demikian, dengan rumusan yang definitif. Pintu itu sudah tertutup.” Paus Fransiskus mengacu kepada dokumen yang dituliskan oleh Paus Yohanes Paulus II, Ordinatio Sacerdotalis. Di sana Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa Gereja tidak berhak menahbiskan wanita, dan pandangan ini harus dipegang oleh semua, sebagai sesuatu yang definitif.
7. Kesimpulan
Pada akhirnya baik diingat bahwa ritus pembasuhan kaki adalah ritus optional, dan baru dimasukkan ke dalam bagian Misa pada tahun 1955 oleh Paus Pius XII. Maka walaupun memiliki sejarah yang panjang, namun detail pelaksanaannya memang mengalami perubahan dari masa ke masa. Namun karena tidak menjadi ritus yang mutlak, maka hal tersebut memungkinkan untuk disesuaikan oleh pihak Tahta Suci, jika kelak memang diputuskan demikian.
Jika hal pencucian kaki ini menimbulkan banyak pertanyaan baik dari kalangan umat maupun imam, tentunya ini akan ditanyakan kepada Kongregasi Penyembahan Ilahi, yang berwewenang untuk menjelaskannya lebih lanjut. Namun sejauh ini, sepanjang pengetahuan kami, belum ada pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Kongregasi tersebut, selain dari ketentuan Paschales Solemnitatis, 51, seperti telah disebutkan di atas. Maka sebelum dikeluarkan penjelasan lebih lanjut, sebaiknya kita berpegang kepada ketentuan tersebut, namun tetap menghormati keputusan Paus yang pasti mempunyai pertimbangan tersendiri, jika ia memutuskan untuk melakukan kekecualian ataupun penyesuaian dari ketentuan itu.
Sumber: Katolisitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar