Minggu, 22 Januari 2017

Trinitas menurut pemikiran Tertulianus


Persoalan Trinitas adalah suatu perdebatan sejak zaman patristik. Pada zaman ini muncul para bapa Gereja dengan mengeluarkan ajaran untuk membela iman kristen. Salah satu kontroversi yang terjadi pada saat itu adalah Trinitas. Kontroversi ini muncul karena adanya bidaah yang tidak mengakui keilahian Kristus. Ada beberapa bapa Gereja yang mecoba merumuskan doktrin tentang trinitas yakni, Ireneus, Origenes, Tertulianus, Athanasius dan Agustinus. Penulis dalam paper ini akan memaparkan ajaran trinitas dari Tertulianus karena dialah yang mencetuskan forma Trinitas. Allah digambarkannya sebagai una substantia tres personae (satu substansi tiga pribadi).

Riwayat Hidup
Quintus Septimus Florens Tertulianus lahir di Kartago, Afrika utara sekitar tahun 155. Ia berasal dari keluarga Romawi kafir. Ia mendapatkan ilmu retorika dan hukum. Diduga ia sempat menjadi ahli hukum beberapa tahun di Roma. Pada tahun 193 ia bertobat meninggalkan nuansa kekafiran dan masuk menjadi kristen. Ada dua alasan pertobatan Tertulianus. Pertama, ia sangat terpukul tatkala menyaksikan bagaimana orang-orang kristen dieksekusi dalam arena gladiator. Kedua, ia sangat tertarik dengan sikap dan keteguhan hidup orang-orang kristen saat menghadapi eksekusi. Sejak pertobatannya ia menjadi pembela orang-orang kristen. Berkat kepintarannya dan kelihaiannya dalam hukum ia menuliskan banyak apologia untuk membela iman kristen melawan kekafiran dan ajaran sesat. Akan tetapi pada tahun 210 ia menjadi anggota montanisme dan menjadi montanis yang terkenal. Tidak beberapa lama kemudian, ia berpisah dengan montanis dan membentuk sektenya sendiri yang bertahan hingga abad ke 5. Tahun kematiannya tidak diketahui, kemungkinan besar setelah tahun 220.

Situasi Sosial
Ada dua situasi sosial yang menandai zaman Tertulianus. Pertama, lahirnya filsafat Yunani. Filsafat Yunani menekankan pencarian kebenaran yang didasarkan pada kodrat dan dunia. Dengan paham ini, orang-orang Yunani mencoba mencari kebenaran Allah. Mereka juga mempertanyakan kodrta Yesus apakah manusia atau Allah atau salah satu diantaranya. Aliran ini melihat kebenaran Allah dalam dua bentuk yakni pluralisme dan monarkhianisme. Kedua, terjadi penganiayaan yang begitu hebat kepada orang-orang Kristen. Penganiayaan ini dilakukan oleh kekaisaran Romawi. Mereka disiksa dan menjadi santapan binatang buas hanya karena menamakan diri sebagai kristen (nomen christianum).

Situasi Religius
Abad kedua atau abad bapa patristik ditandai dengan permulaan agama kristen. Permulaan agama kristen ini juga dibarengi dengan lahirnya ajaran atau dogma sebagai pegangan bagi orang kristen. Ajaran dan dogma-dogma ini juga sebagai suatu apologia untuk melawan orang-orang kafir, dan juga penguasa.

Karya-Karya Tertulianus
Tertulianus adalah salah satu dari para bapak-bapak Gereja yang banyak menyumbangkan tulisan dan sejumlah pemikiran terkait ajaran Gereja. ia adalah teolog, pujangga, ahli pidato dan ahli hukum. Karya-karya atau tulisan-tulisan Tertulianus dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar:

- Apologetik : 5 tulisan

- Kontroversial : 10 tulisan

- Ajaran mengenai disiplin, moral dan praktek asketis : 10 tulisan

Jumlah keseluruhan tulisannya ada sekitar 25. Namun ada juga dikatakan bahwa ada beberapa tulisannya yang hilang dan tidak nampak.

Doktrim mengenai trinitas ada dalam bagian kontroversial, melawan Praexes (adversus praexean). Pertama, Karya ini memuat argumennya melawan kaum Monarkhianisme yang melihat kebenaran Allah dari konsep monarki. Ia menolak pandangan bahwa konsep Trinitas dan Unitas Allah yang disamakan dengan kaisar Romawi bersama anak-anaknya. Bagian kedua memuat penjelasan rasional, yang berdasar pada Kitab Suci.Ia melawan pandangan bahwa Allah yang dilihat pastilah bukan Bapa, dengan merujuk pada “Akulah Tuhan dan tiada yang lain” (Yes 45: 5), “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30) dan “Siapa yang melahat Aku, melihat Bapa” (Yoh 14:9-11).

Adversus Praexes ini ada 31 bab. Bab I Muslihat iblis melawan kebenaran. Bab II doktrin katolik tentang trinitas dan unitas. Bab III berbagai macam ketaktan dan prasangka. Bab IV kesatuan, supremasi dan satu-satunya penguasa ilahi. Bab V evolusi Putera atau sabda Allah dari Bapa melalui proses ilahi. Bab VI Firman Tuhan adalah kebijaksanaan Allah. Bab VII keberadaan Putera nyata dalam sabda dan kebijaksanaan. Bab VIII meskipun Putera atau sabda Allah berasal dari Bapa, Dia bukanlah hasil emanasi sepeti yang dikatakan oleh Valentinus. Dia tidak terpisahkan dari Bapa. Bab IX aturan iman Katolik yang diuraikan dalam beberapa poin. Bab X nama Bapa dan Putera membedakan pribadi antara mereka berdua. Bab XI identitas Bapa dan Putera. Bab XII kutipan lain dari Kitab Suci sebagai bukti pluralitas pribadi dari Allah. Bab XIII Pemaksaan beberapa ayat Kitab Suci untuk menggambarkan pluralitaas pribadi dan kesatuan substansi. Bab XIV invisibilitas Bapa dan visibilitas Putera disaksikan dalam beberapa ayat Perjanjian lama. Bab XV kutipan dari ayat-ayat Perjanjian Baru. Bab XVI manifestasi dari Anak Allah. Bab XVII Kaisar Agustus mendeskripsikan dewa dan itu diaplikasikan kepada Putera. Bab XVIII Allah itu esa sebagaimana yang telah dinubuatkan dalam Kitab Suci. Bab XIX kesatuan Putera dan Bapa dalam penciptaan segala sesuatu. Bab XX ayat-ayat Kitab Suci yang mendukung ajaran sesat Praexes. Bab XXI Bapa dan Putera diucapkan sebagai pribadi yang berbeda sebagaimana tertulis dalam Injil Yohanes. Bab XXII kutipan dari Injil Yohanes untuk menunjukkan perbedaan Bapa dan Putera. Bab XXIII bagian lain dari Injil yang sama untuk mengungkapkan iman Katolik. Bab XXIV Percakapan St. Filipus dengan Kristus. Bab XXV Roh Penghibur atau Roh Kudus. Bab XXVI Pendasaran singkat dari Injil Matius dan Lukas. Bab XXVII perbedaan Bapa dan Putera. Bab XXVIII Kristus bukanlah Bapa sebagaimana yang dikatakan oleh Praexes. Bab XXIX Kristus yang wafat. Bab XXX Bagaimana Putera ditinggalkan oleh Bapa di salib. Baba XXXI Kemunduran karakter bidaah Praexes. Dari 31 bab melawan Praexes, hanya 12 bab berbicara mengenai doktri trinitas yakni dari bab 2-13. Sebelum masuk ke pembahasan tentang Trinitas, terlebih dahulu akan ditunjukkan secara singkat siapa sebenarnya Praxean.

Sekilas tentang Praxean
Siapakah Praxean? Dengan sadar pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab secara mendetail dengan mengungkapkan keseluruhan tentang Praxean sebab tulisan-tulisan tentang dia hampir tidak ada. Umumnya informasi tentang Praxean hanya diketahui dari tulisan Tertulianus dalam “Against Praxeas”.

Praxean adalah seorang Monarchian dan yang berasal dari Asia Kecil yang hidup di akhir abad ke-2 atau awal abad ke-3. Praxean datang ke Kartago sebelum Tertullianus meninggalkan persekutuan Katolik. Dia mengajarkan doktrin Monarchian di sana, atau setidaknya sebuah doktrin yang oleh Tertulianus dianggap sebagai Monarchian. Ia adalah musuh lama bagi Tertulianus sebab dianggap sebagai pembawa ajaran sesat.

Praxean dalam pandangannya percaya akan kesatuan keallahan. Oleh karena itu, dengan keras ia tidak menyetujui upaya pembagian kepribadian dalam keallahan: Bapa, Putera, dan Roh Kudus sebagaimana ada dalam Gereja Kristen saat itu. Ia menolak pembedaan dalam keilahian dan membela bahwa segala sesuatunya ada dalam monarki tunggal Allah. Karena pandangannya, ia ditentang oleh Tertulianus dalam traktatnya “Against Praxeas”.Ajaran Praxeas dilihat sebagai ajaran bidaah. Para pengikutnya disebut sebagai Praxeans. Kemudian Praxeas menghilang dari Kartago setelah mendapat perlawanan dari Tertulianus.

Hubungan Trinitas dalam Kesatuan
Tertulianus memberikan sumbangan yang besar tentang ajaran Allah Trinitas. Ajarannya tentang Tritunggal tertuang dalam makalahnya yakni against Praxeas (melawan Praxeas). Makalah ini terdiri dari 31 pasal, dan secara khusus dasar pembangunan doktrin ini tertuang dalam pasal 2-13. Dia mengembangkan gagasannya dalam konteks polemik di mana ia menolak pandangan-pandangan yang mencoba merusak kesatuan dan keunikan Allah. Di sini Tertulianus melawan pandangan kaum Monarkhianisme yang dikembangkan oleh Praxeas. Pandangan ini menolak setiap pembedaan dalam keilahian dan mendukung suatu gagasan “prinsip tunggal” Allah. Monoteisme mereka adalah monoteisme yang sangat kaku. Mereka mengatakan bahwa hanyalah Allah dan bukan Putera yang lahir dalam sejarah manusia dan yang menderita serta wafat di salib.

Di dalam pasal II dan III, ia mulai membahas doktrin Tritunggal dengan menyoroti unitas dalam trinitas dan trinitas dalam unitas. Tertulianus mengkritik Praxeas yang meniadakan Roh Kudus dan Putra dengan menegaskan bahwa Allah Bapa, Pribadi Yesus Kristus dan Pribadi Roh Kudus menyatu di dalam substansinya. Tertulianus menulis mengenai satu “substansi” Allah dan tiga “pribadi” yang berbeda namun tak terpisah.

Adanya tiga pribadi (Bapa, Putra dan Roh Kudus) itu tidak berarti bahwa ada lebih dari satu Allah. Hal itu bukan juga merusak atau membahayakan kesatuan substansi dan monarki ilahi yang benar. Ketiga pribadi itu berbeda “bukan dalam kondisi melainkan derajat, bukan dalam hakekat melainkan dalam bentuk, bukan dalam kuasa melainkan dalam rupa”. Allah adalah satu dalam subtansi, dalam kondisi, dalam kuasa dan dalam kekuasaan. Tentang hal ini Tertulianus menulis:

“while the mistery of dispensation is still guarded, which distributed the Unity into Trinity, placing in their order the three person – the Father, the Son, and the Holy Gost: three however, non in condition but in degree, not in subtance, but in form; not in their power, but in aspects; yet of one subtance, and in one condition, and in one power, in as much as He is one God from whom these degrees, and form, and aspect are rekoned, under the name of the father, and of the Son and of the Holy Gost.”

Bagi Tertulianus ketiga Pribadi Allah memang dalam pengertian tiga tingkatan, tiga bentuk dan tiga aspek. Namun meskipun demikian bukan berarti bahwa ada tiga Allah melainkan hanya satu Allah. Allah harus diterima di dalam kesatuan-Nya.

Untuk menerangkan Trinitas dalam kesatuan, Tertulianus memperkenalkan tiga analogi material. Dengan analogi itu dia mau memperlihatkan kesatuan dalam pribadi Trinitas namun berbeda. Ketiga analogi itu ialah pertama, akar yang menghasilkan tangkai dan buah; kedua, sumber mata air yang mengalir di sungai dan kanal; ketiga, matahari yang menghasilkan sinar dan titik yang menjadi fokus dari sinar itu. Putera dihasilkan dari bapa, tidak terpisah dari Dia. Bapa menghasilkan Sabda, sebagaimana akar menghasilkan tangkai, sumber mata air yang mengalir di sungai, matahari yang menghasilkan sinar. Roh menjadi yang ketiga dari Allah sebagaimana buah dari ranting yang merupakan yang ketiga dari pohon, kanal dari sungai merupakan yang ketiga dari mata air, titik fokus dari sinar yang merupakan yang ketiga dari matahari. Namun tak satupun kemudian yang memisahkan diri dari yang awal dari mana mereka berasal. Trinitas berasal dari Bapa melalui langkah-langkah yang berkesinambungan dan berhubungan.

Tujuan dari ketiga analogi ini adalah untuk mempertahankan bahwa Putera dan Roh Kudus berbeda dari Bapa sebagai persona tersendiri tetapi bukan sebagai substansi ilahi. Putera dan Roh Kudus tetap berasal dari Bapa tanpa suatu pemisahan.

Tertulianus menyebut Yesus Kristus sebagai Anak (The Son) yang berasal dari Allah. Anak akan mewakili Bapa dalam melakukan kehendak Bapa dan menerima kuasa dari Bapa dan melalui Anak, Roh Kudus akan keluar. Dalam pasal 2 dikatakan bahwa Dia (Anak) telah diutus oleh Bapa kepada perawan, yang dilahirkan, menjadi Manusia dan Allah. Dia adalah Anak Manusia dan Anak Allah, dan yang disebut dengan nama Yesus Kristus; Dia telah menderita, mati dan dimakamkan. Sesudah dibangkitkan kembali oleh Bapa dan naik ke surga, Anak akan datang kembali untuk menghakimi orang hidup dan mati dan Dia, sesuai dengan janji-Nya, akan mengutus Roh Kudus Penghibur dari surga. Roh itu keluar dari Bapa melalui Anak dan Dia-lah yang menguduskan iman mereka yang percaya dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Tertulianus menekankan bahwa Putra dilahirkan tetapi tidak dipisahkan atau dibagi dari Bapa. “Putera tidak lain dari Bapa oleh pemisahan diri-Nya, melainkan karena perbedaan fungsi. Bapa adalah keseluruhan substansi (keilahian) sementara Putera adalah yang berasal dari dan satu bagian dari keseluruhan. Bapa lain dari Putra karena Dia lebih besar, karena Dia yang melahirkan lain dari yang dilahirkan, yang mengutus lain dari yang diutus, pencipta lain dari pelaku penciptaan”.

Dia yang dilahirkan itu, kepada-Nya ditundukkan segala sesuatu. Namun Anak itupun tunduk sepenuhnya kepada Bapa. Dari sini terlihat bahwa ada monarki di dalam ke-Allahan. Namun meskipun demikian keberadaan Anak tidak bertentangan dengan monarki Allah. Dalam pasal IV, Tertulianus menunjukkan bahwa bahwa Bapa dan Anak bukanlah satu pribadi yang menyatu melainkan dua pribadi yang terpisah, bukan hanya namanya yang terpisah, tetapi juga faktanya. Fakta itu meliputi perbedaaan antara Allah yang menyerahkan kerajaan itu dan Anak yang menerima kerajaan itu; demikian juga Ia yang menyerahkan kekuasaan, dengan Dia yang menerima kekuasaan itu. Oleh karena itu keduanya haruslah dua keberadaan yang berbeda.

Keberadaan Anak dikaitkan dengan ‘relasi timbal balik di dalam diri’ Allah sendiri. Di sini Tertulianus merujuk kepada pernyataan Yohanes tentang Logos (Yoh 1: 1,14,18). Dia memperkenalkan Putera sebagai Ratio atau Sabda dalam pikiran Allah dan sebagai Sabda yang dikatakan. Allah telah ada sejak semula sebelum dunia diciptakan. Maka tidak ada yang diluar Allah selain Alllah sendiri. Demikian juga tidak ada yang berada bersama Allah sendiri selain Ia yang memiliki rasio atau sabda. Karena Allah rasional, maka rasio merupakan yang pertama dalam Dia. Dengan ungkapan “ada bersama” dan “berbeda” memungkinkan Tertulianus untuk membedakan antara Anak dan Bapa, tanpa memisahkan Mereka.

Ketika merefleksikan mengenai kesadaran ilahi, Tertulianus mengindentifikasi kebijaksanaan ilahi dengan pribadi yang kedua dari Trinitas. Tertulianus menyadari bahwa Sabda ilahi, sesudah ada dalam pikiran Bapa, kemudian menjadi persona yang berbeda melalui sebuah “kelahiran” yang utuh ketika penciptaan dimulai. Sebelum penciptaan, sabda belum sempurna sebagai Sabda, dan sebelum inkarnasi, belum menjadi Putera yang sempurna. Sabda/Putera membawa eksistensi sebelum dan dalam kerangka penciptaan dan inkarnasi.

Dalam pasal 5 Tertulianus menjelaskan Asal dari Putera. Tertulianus menggunakan analogi pikiran manusia. Ketika seseorang berpikir tentu tidak lepas dari kata-kata dan pada saat ia berusaha mengerti, ia menggunakan akalnya. Maka ketika ia berbicara kepada dirinya sendiri (proses berpikir) maka kata-katalah yang dilontarkan kepada pikirannya. Dengan demikian kata-kata itu menjadi Pribadi kedua. Pemikiran ini menjadi dasar bagi Tertulianus untuk menyakini bahwa sejak sebelum dunia diciptakan, Firman itu telah ada bersama-sama dengan Allah. Ia menjadi yang kedua di sisi Allah.

Dengan melihat Firman sebagai Rasio dan hikmat, maka Firman itu pasti berpribadi. Allah menjadikan Kristus setara dengan Dia sendiri, Anak yang pertama diperanakkan, sebab Ia diperanakkan sebelum segala sesuatu ada. Namun, Tertulianus dengan tegas menolak jika pernyataan di atas menjadi dua substansi antara Allah Bapa dan Allah Putera. Bagi Tertulianus, kebenaran tidak boleh dikaitkan dengan terminologi seperti itu, karena terminologi itu juga dipakai oleh bidat/ajaran sesat.

Dalam pasal 9 Tertulianus menjelaskan lebih jauh tentang kesatuan Pribadi Trinitas. Dia mengatakan bahwa Bapa, Putra, dan Roh Kudus adalah satu dan tidak terpisahkan satu sama lain. Mereka berbeda bukan karena divisi tetapi berbeda oleh distribusi. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus karena mereka satu sama lain berbeda dalam cara berada mereka.

Pasal 10 dan 11 memaparkan argumenya bahwa Bapa dan Anak berbeda tetapi tidak terpisah. Hal ini dikatakan untuk melawan konsep Monarchianisme yang mengatakan bahwa Allah Bapa dan Allah Putera adalah satu Pribadi. Tertulianus mengatakan bahwa bagaimana mungkin bapa membuat dirinya putra kepada dirinya dan sebaliknya putra membuat dirinya sebagai bapa bagi dirinya. Seorang bapa harus mempunyai seorang putra agar ia menjadi bapa dan sebaliknya seorang putra akan menjadi putra kalau Ia mempunyai seorang bapa.

Pada Pasal 11 Tertulianus menegaskan kembali bahwa Bapa dan Putra berbeda tetapi tidak terpisahkan. Hal ini sudah dijelaskan dengan istilah pikiran dan “kata-kata” pasa pasal 5. Sebagai penegasan dia mengutip ayat-ayat, misalnya Yes 42:1, 45:1,Yes 49:6, Yes 53:1-2. Sebagai contoh: “Lihat itu hamba-Ku yang Kepegang, orang pilihan-Ku, yang kepadanya Aku berkenan. Aku telah menaruh Roh-Ku ke atasnya, supaya ia menyatakan hukum kepada bangsa-bangsa lain” (Yes 42:1). Kutipan-kutipan ini mau menunjukkan perbedaan pribadi dalam Trinitas jelas diatur. Dengan konsep ini Tritunggal tidak sama dengan satu pribadi dengan tiga modus, seperti yang disodorkan oleh Monarkhianisme.

Dalam pasal 12 Tertulianus menunjukkan pluralitas Pribadi dalam Trinitas. Untuk memperjelas hal ini, ia mengutip Kitab Suci Kej 1:26 “Baiklah Kita menciptakan manusia seturut gambar dan rupa Kita”. Tertulianus mengatakan bahwa jika Dia (yang bersabda) hanya satu (singular) Dia akan mengatakan baiklah Saya menciptakan manusia menurut gambar dan rupa saya.

Pasal 13 merupakan bagian terakhir yang secara khusus membahas Trinitas. Di sini dia membela bahwa pandangan Trinitas bukanlah konsep politeisme seperti yang dituduhkan oleh Monarkhianisme. Tertulianus membela keesaan Allah dalam Trinitas ini dengan melihat penggunaan dari kata “Tuhan” yang dipakai bersama untuk keduanya. Untuk itu ia memisahkannya sebagai dua sinar yang sebenarnya satu esensi adanya.

Tertulianus memang memberikan sumbangan yang besar dalam ajaran tentang Trinitas. Sumbangan itu menjadi langkah penting dalam peralihan pemahaman Trinitas. Namun meskipun demikian apa yang digagasnya belum menjadi suatu formula yang lengkap serta tanpa kelemahan dalam hubungan dengan misteri iman yang agung itu.

Bila dicermati gagasan Tertulianus tentang Trinitas, terasa bahwa porsi terbesar pembahasan diarahkan kepada Kristus. Kiranya hal ini dapat juga kita rasakan dalam Pengakuan Iman (Syahadat Para Rasul). Meskipun dalam Pengakuan Iman itu dibicarakan ketiga Pribadi Trinitas, tetapi Pribadi Kristus tetap mendapat perhatian yang lebih besar. Ini disebabkan karena Pribadi Kristus menjadi pusat iman Kristen. Mengapa demikian? Hal yang bisa dikatakan ialah karena pergumulan kekristenan waktu itu ada di sekitar pribadi Kristus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar